Dr. Radea Juli A. Hambali, M.Hum., Wakil Dekan I Fakultas Ushuluddin (FU) UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
“Aku pelarian ke dalammu atas gejolak diriku. Kini aku milikmu, jangan pulangkan aku padaku” Rumi
BANDUNGMU.COM — Dilihat dari sudut tertentu, manusia “seluruhnya” adalah materi. Pemikiran modern menyimpulkannya demikian. Barangkali, karena keyakinan ini pula, hasrat dan kecenderungan manusia selalu terarah pada benda-benda, pada sesuatu yang material.
Diakui atau tidak, seluruh orientasi manusia diarahkan sepenuhnya untuk memuaskan keinginan tubuh. Melayani keinginan badan.
Tapi hasrat badan sebagian besarnya adalah penderitaan, begitu kata para sufi. Atau dalam bahasa Iwan Fals, “keinginan adalah sumber penderitaan”. Apakah pemantiknya? Menurut para sufi pula, nafsulah asal muasalnya. Nafsulah yang membujuknya.
Nafsu itulah pencipta “gejolak dalam diriku”, sebagaimana tampak pada “puisi” Rumi di atas. Gejolak yang telah menyebabkan sekian banyak manusia terperosok ke jurang kehinaan. Ke ruang penyesalan.
Jika nafsu menjadi muasal keinginan bahkan kejahatan, haruskah nafsu dibuang atau dimatikam? Nafsu harus dikendalikan bukan dimatikan, begitu kata agama. Manusia butuh “nafsu yang menenangkan” (nafsu muthmainnah) bukan nafsu yang mencelakakan (nafsu amarah). Ya, nafsu harus ditenangkan. Ia harus diarahkan supaya tak melulu membisikan gejolak yang mencelakakan. Dengan apa? Melalui cara bagaimana?
Puasa sebulan yang sebentar lagi usai kita laksanakan adalah “pelarian” yang menyelamatkan. Puasa ramadan seturut dengan puisi Rumi di atas adalah laku spiritual yang mampu mengendalikan dan mengarahkan “gejolak diriku” yang sering meledak-ledak. “Gejolak diriku” yang menjadi sebab rugi dan sengsaranya diriku.
Tapi puasa sebagai laku spiritual yang mengendalikan nafsu bukanlah “pelarian” yang asing dan tidak dikenal aku. Puasa adalah kesejatian aku disebabkan aku bukan sekadar tubuh material yang diyakini pemikiran modern. Aku yang asli dan primordial adalah aku yang spiritual.
Puasa sebagai laku spiritual seumpama “belahan jiwa” yang lama terpisah disebabkan hijab materi yang sengaja menghalangi kesejatian aku.
O, puasa kini aku milikmu. Jangan pulangkan aku padamu. “Dalam puasa memang terasa ada lara tapi dari hati akan muncul harta kita”, begitu kata Rumi.
Usai puasa, bisakah kita mengendalikan nafsu. Memapahnya untuk menjadi teman tualang ke arah yang menyelamatkan bukan malah sebaliknya?
Allahu a’lam[]
Tabik,