UMBandung
Opini

Mikrobioma Usus dan Kesehatan Mental

×

Mikrobioma Usus dan Kesehatan Mental

Sebarkan artikel ini
Desainer: Rio/UM Bandung.

Oleh: Cusiyani Aprillia, Lisa Sagita, Husna Hasya Al-Aliyyu (mahasiswa Bioteknologi UM Bandung semester 6)

BANDUNGMU.COM — Usus mengandung jumlah mikroorganisme yang sangat besar, termasuk bakteri, virus, ragi, jamur, dan parasit. Oleh karena itu, usus sering disebut sebagai tempat tinggal bagi lingkungan mikroba yang dikenal sebagai mikrobioma usus.

Mikrobioma usus memainkan peran penting dalam proses pencernaan makanan, penyerapan nutrisi, serta memengaruhi metabolisme, berat badan, dan sistem kekebalan tubuh.

Keadaan mikrobioma juga dapat mempengaruhi tingkat depresi dan kecemasan; dengan meningkatkan kesehatan usus, kesehatan mental dapat membaik.

Usus memengaruhi kesehatan mental dengan memproduksi neurotransmiter yang berfungsi mengirimkan pesan antara neuron dan membantu mengatur berbagai aspek mulai dari gerakan hingga emosi (Forbes et al., 2019).

Ketidakseimbangan bakteri dalam mikrobioma dapat mmenyebabkan masalah pada kesehatan pencernaan dan kesehatan mental. Penelitian menunjukkan bahwa individu dengan gangguan pencernaan memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami depresi dan kecemasan.

Selain itu, beberapa gangguan mental lain, seperti autisme, skizofrenia, dan gangguan bipolar, juga telah dikaitkan dengan ketidakseimbangan mikrobioma dan masalah pencernaan (Ecks, 2021).

Mekanisme mikrobioma usus dan kesehatan mental

Produksi neurotransmitter oleh mikrobioma usus mempengaruhi suasana hati dan kesehatan mental secara signifikan. Sebagai contoh, sekitar 90 persen serotonin di tubuh diproduksi di usus.

Serotonin, yang merupakan neurotransmitter, memainkan peran penting dalam mengatur suasana hati, nafsu makan, dan pola tidur. Ketidakseimbangan bakteri usus dapat mengurangi produksi serotonin yang dapat berkontribusi pada kondisi seperti depresi dan kecemasan (Appleton, 2018).

Ada tiga jalur utama yang membentuk hubungan usus-otak (Breit et al., 2021). Pertama, jalur saraf vagus. Usus manusia memiliki jaringan sel saraf yang luas dan rumit yang dikenal sebagai sistem saraf enterik (ENS) atau “otak kedua”.

Baca Juga:  Hijrah, Momentum Meninggalkan Cara Berpikir Jahiliyah

Mikroba di usus, seperti bakteri, dapat menghasilkan zat kimia yang berinteraksi dengan sinyal yang dikirimkan oleh jutaan saraf dalam sistem pencernaan di usus. Interaksi ini dapat merangsang saraf vagus yang kemudian mengirimkan sinyal langsung ke otak, mempengaruhi fungsi otak, dan suasana hati.

Kedua, jalur imunoregulasi. Mikroba di usus tertentu dapat memengaruhi fungsi sel dalam sistem kekebalan, termasuk sel di otak. Mikroba usus menghasilkan metabolit seperti asam lemak rantai pendek (SCFA) yang memiliki sifat anti-inflamasi.

Mikroba ini dapat memengaruhi produksi sitokin dan respon inflamasi sistemik yang pada gilirannya dapat mencapai otak melalui aliran darah dan memengaruhi fungsi serta suasana hati.

Ketiga, jalur neuroendokrin. Gangguan pada usus dapat mempengaruhi produksi zat seperti triptofan dan asam amino. Bakteri usus dapat menghasilkan neurotransmiter seperti serotonin, GABA, dan dopamin, yang berperan dalam pengaturan suasana hati dan kecemasan. Sebagian besar serotonin di tubuh diproduksi di usus.

Apakah pola makan dapat mempengaruhi kesehatan mental?

Ketidakseimbangan bakteri dalam mikrobioma dapat menyebabkan masalah pada kesehatan pencernaan dan mental. Gejala disbiosis ini dapat mengubah keseimbangan mikrobioma yang bisa disebabkan oleh perubahan pola makan, tingkat dan durasi stres, penggunaan antibiotik, serta faktor lainnya.

Bakteri dalam mikrobioma berperan penting dalam hampir semua aspek fisiologi manusia, termasuk proses mental. Penelitian menunjukkan bahwa individu dengan gangguan pencernaan tertentu memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami depresi dan kecemasan (Kamel et al., 2024).

Baca Juga:  Kenapa Pimpinan Pusat Muhammadiyah Minus Teknolog?

Orang dengan penyakit radang usus (IBD) memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami masalah kesehatan mental seperti depresi dan kecemasan.

Pola makan juga berpengaruh pada mikrobiota usus. Konsumsi makanan yang mengandung tumbuhan, biji-bijian, dan lemak sehat sering dikaitkan dengan perbaikan kesehatan mental.

Sebaliknya, konsumsi tinggi lemak jenuh dan karbohidrat olahan dapat meningkatkan risiko mengalami stres, depresi, dan gangguan kecemasan.

Di sisi lain, asupan tinggi serat dan lemak tak jenuh seperti omega-3 terbukti terkait dengan risiko lebih rendah mengalami depresi dan stres (Belei et al., 2024).

Beberapa langkah dapat diambil untuk meningkatkan mikrobioma usus dan mengurangi risiko masalah kesehatan mental. Misalnya mengonsumsi lebih banyak sayuran, kacang-kacangan, polong-polongan, buah-buahan, biji-bijian, dan makan makanan fermentasi yang kaya polifenol dan antioksidan, serta mengonsumsi suplemen probiotik (Suhartatik et al., 2023).

Referensi:

  1. Hadiyanto, M. L., & Wahyudi, S. (2022). Probiotik sebagai pencegahan diare terkait antibiotik pada Anak. Cermin Dunia Kedokteran, 49(4), 219-222.
  2. Hasibuan, F. E. B., & Kolondam, B. J. (2017). Interaksi antara mikrobiota usus dan sistem kekebalan tubuh manusia. Jurnal Ilmiah Sains, 35-42.
  3. Kamaruddin, M., Triananinsi, N., Sampara, N., & RA, A. M. (2020). Karakterisasi DNA Mikrobiota Usus Bayi pada Persalinan Normal yang diberi ASI dan Susu Formula. Media Kesehatan msyarakat Indonesia. 16(1), 116-126
  4. Kurniawan, D., Makmun, A., Zulfahmidah, Z., & Aisyah, W. N. (2020). Profil Mikrobiota Saluran Cerna Pada Anak, Dewasa, Berbagai Suku dan Ras. Indonesian Journal of Health, 1(01), 1-12.Putri, S. S. F., Irfanuddin, I., & Murti, K. (2021). Potensi Mikrobiota Usus Dalam Pencegahan Dan Tatalaksana Obesitas. Jambi Medical Journal: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, 9(3), 276-282.
  5. Ratsika, A., Codagnone, M. C., O’Mahony, S., Stanton, C., & Cryan, J. F. (2021). Priming for life: early life nutrition and the microbiota-gut-brain axis. Nutrients, 13(2), 423.
  6. Rizqoh, D., Laudy, N. P., Atiqah, R. F., & Fadlika, R. (2024). Hubungan Antara Ketidakseimbangan Komposisi Mikrobiota Usus Terhadap Gangguan Kesehatan: Telaah Literatur. Jurnal Medika Malahayati, 8(2).
  7. Ronan, V., Yeasin, R., & Claud, E. C. (2021). Childhood development and the microbiome—the intestinal microbiota in maintenance of health and development of disease during childhood development. Gastroenterology, 160(2), 495-506.
  8. Simanjuntak, B. Y., Annisa, R., & Saputra, A. I. (2022). Kajian Literatur: Berhubungankah mikrobiota saluran cerna dengan stunting pada anak balita?. Amerta Nutrition, 6.
  9. Suryawan, A. (2018). Komposisi mikrobiota dan perkembangan kognitif, perilaku dan karakter anak. Maternal, Infant and Young Children Nutrition & Health, July, 225-234.
  10. Wirasati, R. I. C., Limantara, S., & Bakhriansyah, M. (2023, November). Systematic Review: Peran Nutraceutical Dalam Gut Mikrobiota–Brain Axis. In Lambung Mangkurat Medical Seminar , 4(1), pp. 313-320.
  11. Zhang, C., Li, L., Jin, B., Xu, X., Zuo, X., Li, Y., & Li, Z. (2021). The effects of delivery mode on the gut microbiota and health: state of art. Frontiers in Microbiology, 12, 724449
PMB UM Bandung