Oleh: Ace Somantri, Dosen Universitas Muhammadiyah
BANDUNGMU.COM — Gerak langkah Muhammadiyah sebagai organisasi gerakan sosial sudah teruji dan terbukti. Kiprah nyatanya bukan hanya isapan jempol semata.
Sepertinya tidak salah hari ini dari jutaan warga Muhammadiyah berujar bahwa Muhammadiyah ini adalah bangsa atau negara?
Memang sangat konyol seandainya narasi ini dikembangkan menggelinding menjadi opini dan isu dalam wacana sosial politik kekuasaan pada ranah kebangsaan.
Namun, sah-sah saja orang punya pendapat selama punya argumentasi rasional dan objektif. Di muka bumi ini manusia salah satu makhluk Tuhan yang memiliki posisi mulia nan berharga.
Keberhargaanya menjadi added value bagi manusia itu sendiri di hadapan makhluk lainnya sekaligus kemuliannya bernilai di hadapan Sang Pencipta. Oleh karena itu, wajar jika manusia di mana pun berada merasa berhak untuk berbuat dan berkata selama sandarannya jelas.
Benar tetap benar, tidak bisa sesuatu yang jelas salah dikatakan benar dan sebaliknya sesuatu yang salah tidak bisa dikatakan benar. Diamond is diamond, begitulah kira-kira filosofi seorang manusia seharusnya, di mana pun manusia mulia harusnya tetap mulia karena hakikat manusia sebenarnya mulia.
Namun karena manusia merupakan benda hidup selalu ada nilai dinamis yang berubah. Sementara kemuliaan manusia ada syarat dan ketentuannya. Dia aka mulia ketika ada dalam kebaikan dan kebenaran. Sebaliknya ketika ada di tempat yang salah dan celaka maka tidak mulia lagi.
Oleh karena itu, sama halnya ketika menilai sesuatu, banyak di antara manusia yang melihat sesuatu itu berdasarkan visual mata belaka. Konsekuensinya hasilnya tidak sedikit subjektif, bahkan kadang-kadang tendensius yang mengarah sikap dan perilaku saling caci dan maki.
Padahal, seharusnya mereka bisa saling koreksi karena sifat manusia itu berpotensi untuk berbuat salah dan khilap.
Inisiator gerakan
Narasi tentang Muhammadiyah apakah negara atau bangsa, cukup beralasan karena secara historis gerakan sosial dan politik kebangsaan sebelum kemerdekaan, terlebih dahulu Muhammadiyah sudah memiliki kiprah juang nyata.
Bahkan secara institusional, Muhammadiyah diakui oleh bangsa asing kala itu oleh Hindia Belanda. Kemudian pengembangan gerakan sosial ke berbagai daerah terbentuk sebagai jaringan kekuatan sosial politik kebangsaan kala itu.
Secara substansi gerakan sosial politik Muhamamdiyah sudah lebih dahulu berperan menjadi inisator untuk membangun nasionalisme sebuah bangsa dan negara.
Seandainya kala itu funding fathers berniat dan memobilisasi kekuatan politik sangat mungkin mendirikan simbol kekuasaan menjadi negara Muhammadiyah.
Fakta sosial politik kala itu yang dibangun oleh tokoh penggerak masyarakat dan umat di kalangan Muhammadiyah bukan orientasi pada kekuasaan menjadi penguasa Hindia Belanda.
Mereka bergerak untuk melawan kemiskinan dan kebodohan bergama bersifat universal. Sekalipun dalam term politik kabangsaan bahwa hal tersebut masuk dalam narasi politik kekusaan.
Pasalnya, ujung dari gerakan sosial politik pada akhirnya bertujuan mengambil alih kendali sebuah sistem sosial yang terbentuk dalam komunitas sosial yang lebih besar.
Hal itu lambat laun memang terbukti. Hasil dari gerakan sosial Muhammadiyah melahirkan tokoh pejuang-pejuang yang terlibat langsung melakukan perlawanan terhadap kekuasaan Hindia Belanda.
Akhirnya warga masyarakat dan tokoh pejuang Muhammadiyah mendorong lahirnya sebuah bangsa dan negara kala itu berkolaborasi dengan tokoh-tokoh lain.
Kolaborasi tokoh pejuang berbagai komunitas bangsa kala itu, komunitas Muhammadiyah yang paling depan sekaligus paling memiliki struktur jaringan sosial politik paling mapan.
Termasuk memiliki infrastruktur sosial ekonomi, pendidikan, dan kesehatan yang dapat dijadikan instrumen kelengkapan sebuah bangsa dan negara.
Klaim yang wajar
Wajar kalau ada yang membuat narasi bahwa sangat mungkin Muhammadiyah dikatakan sebagai negara. Tidak sedikit pula masyarakat luar Indonesia mengatakan bahwa Muhammadiyah adalah negara.
Saat itu hal tersebut pernah dikatakan oleh salah seorang mahasiswa asing dari Australia dalam diskusi tertutup di kantor pusat Muhammadiyah Jakarta.
Itulah kemuliaan manusia sosok pendiri dan para tokoh Muhammadiyah yang memiliki keberhargaan yang bernilai sangat luar biasa. Walaupun mereka kala itu memiliki kemampaun membuat sebuah negara, mereka tidak lantas medeklarasikan hal tersebut.
Kami yakin selama Muhammadiyah berdiri tegak, insyaallah Indonesia tetap ada, dan sebaliknya ketika Muhammadiyah runtuh sangat mungkin Indonesia ini juga runtuh.
Tidak salah ketika sang proklmator berwasiat ketika saat meninggal ingin “dimuhammadiyahkan” yakin dalam jiwanya bahwa Indonesia lahir, selain tentu oleh banyak tokoh lain, yang paling dominan menyumbang kemerdekaan Indonesia adalah pendiri, tokoh, dan warga Muhammmadiyah kala itu.***