Oleh: Ibn Ghifarie*
BANDUNGMU.COM – Selama pandemi Covid-19, angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia meningkat tajam. Data dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simponi PPA) menunjukkan bahwa pada periode 1 Januari–28 Februari 2020, tercatat 1.193 kasus kekerasan terhadap perempuan. Namun, angka ini melonjak drastis menjadi 5.551 kasus dalam kurun waktu 29 Februari–31 Desember 2020.
Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA), Pribudiarta Nur Sitepu, menjelaskan bahwa ketidakpastian ekonomi, kehilangan pekerjaan, kondisi tempat tinggal yang padat, serta beban rumah tangga yang semakin berat menjadi faktor utama meningkatnya kekerasan terhadap perempuan.
Kekerasan terhadap anak juga mengalami lonjakan signifikan. Sebelum pandemi, tercatat 2.851 kasus, namun selama pandemi angkanya melonjak menjadi 7.190 kasus. Minimnya kesempatan anak untuk meninggalkan rumah turut memengaruhi kondisi ini. Anak-anak mengalami kesulitan mengakses pendidikan formal dan terpapar informasi hoaks melalui media sosial, menambah kompleksitas masalah yang mereka hadapi.
Hari Raya Nyepi dan Pesan Nirkekerasan
Hari Raya Nyepi 1943 Saka yang jatuh pada 14 Maret 2021, semestinya tidak hanya menjadi momentum untuk melaksanakan ritual Melasti, Tawur, dan Catur Brata Nyepi. Namun, juga sebagai pengingat pentingnya hidup dalam harmoni, cinta kasih, dan gerakan nirkekerasan sebagaimana yang diajarkan oleh Mahatma Gandhi.
Menurut Gandhi, kekerasan adalah senjata orang yang berjiwa lemah. Dalam pandangan Gandhi, kekerasan bukan sifat kodrati manusia. Ia menegaskan bahwa jika perang dan kekerasan tidak dihapuskan, masa depan umat manusia akan suram, dengan risiko kehancuran besar akibat kemajuan teknologi destruktif.
Solusinya, kata Gandhi, adalah memanifestasikan jiwa yang lebih baik, melalui perubahan karakter, pola pikir, dan perilaku, dengan menempatkan akal sehat dan kehendak baik sebagai dasar tindakan.
Gandhi juga menekankan bahwa nirkekerasan bukanlah bentuk kelemahan, melainkan keberanian tertinggi. “Nirkekerasan lahir dari cinta kasih, sedangkan sikap pengecut berasal dari kebencian,” katanya. Dalam konteks ini, sikap nirkekerasan harus diwujudkan secara kolektif, melibatkan semua elemen masyarakat, mulai dari pemimpin, tokoh agama, hingga rakyat biasa.
Meneladani Gandhi untuk Masa Depan yang Lebih Baik
Gerakan nirkekerasan, seperti yang diajarkan Gandhi, harus melampaui teori dan diwujudkan dalam tindakan nyata. Dalam agama Hindu, misalnya, perayaan Dharma Santi mencerminkan cita-cita untuk mencapai kesejahteraan lahir batin, kehidupan yang berlandaskan kebenaran (satyan), kesucian (siwam), keharmonisan, dan keindahan (sundaram).
Ketua Yayasan Uluangkep AAGN Ari Dwipayana menegaskan bahwa gerakan antikekerasan (ahimsa) harus dimulai dengan mengendalikan nafsu dan angkara murka yang sering menjadi akar tindakan kekerasan. Ahimsa adalah kekuatan yang paling tangguh karena bersumber dari kebenaran, yang merupakan manifestasi Tuhan itu sendiri.
Hari Raya Nyepi menjadi momentum untuk menyebarkan nilai-nilai cinta kasih, saling menghormati, dan perdamaian. Semoga semangat ini mampu menginspirasi bangsa Indonesia untuk terus melawan kekerasan dalam segala bentuknya, demi mewujudkan kehidupan masyarakat yang harmonis, damai, dan sejahtera. Selamat Hari Raya Nyepi 1943 Saka. Semoga semua makhluk berbahagia.
*Pegiat Kajian Agama dan Media di IRFANI Bandung