UMBandung
Islampedia

Pandangan Muhammadiyah Soal Hukum Menyebut Almarhum Untuk Orang Kafir Yang Meninggal

×

Pandangan Muhammadiyah Soal Hukum Menyebut Almarhum Untuk Orang Kafir Yang Meninggal

Sebarkan artikel ini

BANDUNGMU.COM — Kata “almarhum” dan “almarhumah” berasal dari bahasa Arab. “Almarhum” merujuk kepada laki-laki, sedangkan “almarhumah” merujuk kepada perempuan yang dirahmati atau dikasihi.

Arti yang dalam ini mencerminkan doa untuk seseorang yang telah meninggal, terutama dalam konteks kepercayaan umat Islam.

Namun, dalam perkembangannya, makna kata-kata ini mengalami perubahan saat masuk bahasa Indonesia. Saat ini “almarhum” digunakan untuk menyebut seseorang yang telah meninggal, contohnya “almarhum dokter Fulan.”

Begitu pula, kita sering mendengar ungkapan seperti “almarhum pernah melawat ke Jepang” yang mengacu kepada seseorang yang telah tiada.

Meskipun maknanya berubah, esensi doa untuk orang yang telah meninggal masih terkandung dalam kata-kata ini, terutama bagi umat Islam.

Baca Juga:  Inilah 4 Masukan Shamsi Ali untuk Persyarikatan Muhammadiyah

Ketika kita mengatakan “almarhum Buya Hamka,” sebenarnya kita mengucapkan doa “Semoga Allah merahmati/mengasihi beliau.”

Hal yang sama terjadi di Malaysia, di mana mereka menggunakan ungkapan “Allahyarham Fulan” yang memiliki arti serupa, yakni “Semoga Allah merahmati Fulan”.

Hal ini sejalan dengan akarnya dalam bahasa Arab, yakni “Rahimahullah” yang berarti “Semoga Allah merahmatinya.”

Namun, penting untuk diingat bahwa kata-kata “almarhum” dan “almarhumah” tidak boleh digunakan untuk orang kafir yang telah meninggal.

Bagi mereka, kita cukup menyebut mereka sebagai “mendiang.” Ini karena keyakinan bahwa hanya orang yang meninggal dalam keadaan Islam yang akan dirahmati oleh Allah. Orang yang meninggal dalam keadaan kufur tidak akan mendapatkan rahmat dari Allah SWT.

Baca Juga:  Keajaiban Alquran dan Prediksi Kemenangan Umat Islam yang Menjadi Kenyataan

Dalam Al-Quran disebutkan:

“Sesungguhnya orang-orang kafir dan mereka mati dalam keadaan kafir, mereka itu mendapat laknat Allah, para malaikat dan manusia seluruhnya. Mereka kekal di dalam laknat itu; tidak akan diringankan siksa dari mereka dan tidak (pula) mereka diberi tangguh.” (QS Al-Baqarah [2]: 161-162).

Allah SWT juga berfirman:

“Barang siapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS Al-Baqarah [2]: 217).

Baca Juga:  Ini Pesan Penting Hilman Latief di Silaturahmi Bakda Ramadhan UM Bandung

Kedua ayat ini menunjukkan bahwa orang yang mati dalam keadaan kafir, baik pada asalnya ia memang orang kafir atau pada asalnya ia beragama Islam lalu murtad, tidak akan mendapat rahmat dari Allah SWT.

Dengan demikian, meskipun makna kata-kata “almarhum” dan “almarhumah” telah berubah seiring waktu, doa dan harapan baik untuk orang yang telah meninggal tetap menjadi inti dari penggunaannya, khususnya dalam konteks kepercayaan Islam.

Semoga pengetahuan ini membantu kita memahami lebih dalam makna kata-kata ini dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.***

PMB UM Bandung