OLEH: ABDUL ROUF – Angkatan Muda Muhammadiyah Kabupaten Subang
BANDUNGMU.COM – Berbagai arah dalam memahami ruang lingkup sejarah peradaban. Namun lebih khusus ketika kita dihadapkan dengan bagaimana cara berislam secara baik.
Sesuai Islam yang pada intinya dengan keislaman seutuhnya. Bukan dengan melihat beberapa tokoh Islam dari kelompok tertentu meski itu menjadi salah satu di antaranya.
Maka dari mulai sikap, perilaku, ataupun perbuatan yang dilakukan oleh segelintir orang, lebih tepatnya oknum, dalam internal atas nama keagamaan, sikap politik, ekonomi, dan yang lainnya.
Sehingga itu sebuah persoalan besar dalam peradaban Islam untuk anak muda generasi ke depan. Apalagi dibuatkan sebuah narasi hingga muncul adu domba sesama saudaranya sendiri. Sungguh menyakitkan kalau terjadi.
Maka kita harus mengetahui siapa yang memberikan pengetahuan dari beberapa tokoh dan siapa yang memberikan pengetahuan tentang agama.
Agar jauh lebih kita pahami banyak cara pemahaman dan pengamalannya, sehingga timbul berbagai rasa, kalau saya diistilahkannya, yang kemudian diarahkan banyaknya varian apa pun bisa kita telan ataupun dimakan dengan porsinya tidak kelebihan ataupun kekurangan.
Sehingga perut sebagai penampung berbagai makanan yang diberikan asupan menjadikannya tidak sehat ataupun menjadikannya sehat sehingga menjadi solusi untuk tubuhnya. Itu semua dikembalikan kepada diri masing-masing.
Oleh karena itu, di sini penting ke mana kita berguru dalam mempelajari sebuah ilmu pengetahuan.
Kalau menurut M. Daud Yahya, Ketua Pusat Pengkajian dan Pengembangan Pendidikan Islam, secara umum memberikan penjelasan pada tiga pemahaman besar, yaitu radikal, moderat, dan liberal.
Moderasi beragama merupakan jalan tengah (wasatiyah) sebuah pemahaman dan pengamalan dimana ada ekstrem keras radikal (ekstrem kanan) dan ekstrem meremehkan (esktrem kiri).
Antara terlalu berlebihan dan terlalu berkekurangan. Antara ekstrem eksklusif kebenaran tunggal dan ekstrem semua benar dan ekstrim relativisme. Antara ekstrem tekstual yang terlalu kaku dan ekstrem kontekstual yang terlalu lentur.
Secara umum moderasi beragama ini dipakai dalam konteks akidah, syariat, akhlak, dan tasawuf menurut M. Daud Yahya yang juga sebagai dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Antasari.
Ada dikenal jabariyah dan qadariyah, ada khawarij dan mu’tazilah, ada wujudiyah muwahhid dan wujudiyah mulhid, ada ahlus sunnah waljamaah, dan lain-lain.
Bagi penulis, dalam konteks kebangsaan di tanah air, moderasi terhadap agama menjadi hal yang seksi dalam penguatan terhadap ideologi bangsa terkait penguatan sebuah kesepakatan para pendiri bangsa terdahulu yang kini menjadi pahlawan nasional.
Indonesia bukan negara agama dan bukan negara sekuler. Namun, rakyatnya bebas melaksanakan ajaran atau peribadatan agamanya masing-masing dalam kehidupan berbangsa di negara kesatuan republik Indonesia (NKRI).
Kalau Majelis Ulama Indonesia dalam Munas MUI X1 pada 2015 memberikan 12 prinsip dalam moderasi.
Prinsip tersebut ialah jalan tengah, berkeseimbangan, lurus dan tegas, toleransi, egaliter, musyawarah, reformasi, mendahulukan yang prioritas, dinamis, dan inovatif, berkeadaban, penerimaan eksistensi negara bangsa dan kepeloporan dalam kebaikan dan kemaslahatan hidup.
Bukan menjadi sebuah solusi ketika kita sebagai anak muda hanya terdiam dan membiarkan situasi yang semakin memanas terhadap sebuah perdebatan yang terjadi. Namun, kita harus mengambil peran untuk sama-sama mencari sebuah solusi.
Ingat bahwa keburukan yang terus disuarakan akan semakin merajai, ketika kebaikannya tidak disuarakan.
Bersuaralah meski itu kecil, dengan karya apa pun, sesuai dengan kafasitas kemampuan kita pada saat ini. Jangan hanya menjadi penonton. Jadilah pemain untuk menjadi solusi atas kehadiranmu meski itu hal kecil menurutmu.***