IBN GHIFARIE, Pegiat kajian agama dan media di Institute for Religion and Future Analysis (IRFANI) Bandung.
BANDUNGMU.COM-Shaum tidak hanya bersifat ritual personal (hablu minallah) semata, tetapi memberikan dimensi kemanusiaan (hablu minnas), mulai dari peduli terhadap fakir, miskin, gerakan perubahan sosial, solidaritas sampai kesinambungan ajaran agama-agama.
Tradisi Puasa
Ini dibenarkan oleh Nurcholish Madjid ihwal puasa merupakan salah satu mata rantai akan kesinambungan (kontinuitas) ajaran agama-agama. Sebagaimana firman Allah SWT “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa” (QS. Al-Baqarah [2]:183)
Menurut para ahli, shaum adalah salah satu bentuk ibadah yang paling mula-mula serta yang paling luas terbesar di kalangan umat manusia. Bagaimana puasa itu dilakukan,dapat berbeda-beda dari satu umat ke umat yang lain, serta dari satu tempat ke tempat lain. Bentuk puasa yang umum selalu berupa sikap menahan diri dari makan, minum (tertentu), kebutuhan biologis, bicara, bekerja, berperang (angkat senjata). Soal waktu pun sangat beragam mulai dari siang, malam sampai siang dan malam.
Untuk kaum Sabean (al-shabiun) dan para pengikut Manu (al-manuwiyun) kelompok-kelompok keagamaan di Timur Tengah kuno (Mesopotamia dan Persia) serta Kristen Tmur di Asia Barat dan Mesir menjalankan puasa dengan menghindari jenis makanan dan minuman tertentu. Penahanan diri dari berbicara telah dijalankan oleh Maryam (Bunda Maria) saat terancam, diejek, diusir masyarakat atas kelahiran anaknya (Isa) tanpa ayah. (Nurcholish Madjid 2000:4-6)
Dalam peraktek kehidupan sehari-hari ritual suci ini telah mengakar pada tradisi leluhurnya. Pasalnya, setiap komunitas (kepercayaan, keagamaan) mengajarkan tentang pentingnya cara menahan diri dari segala bentuk keinginan (hawa nafsu, amarah, tamak). Meski bentuk dan waktu pelaksanaanya beragam.
Tengoklah saat Musa berada di gunung Thurisin untuk bertemu Tuhan harus berpuasa selama empat puluh hari; Daud selama hidupnya rela melakukan puasa satu hari dan berbuka satu hari; Shidarta Gautama untuk mencapai Nibbana harus berpuasa bertahun-tahun di bawah pohon Bodi; Mahatma Gandhi hendak mempersatukan umat Islam dan umat Hindu di India yang saling bermusuhan melanda Kalkuta bersedia melakukan puasa sejak 13 Januari 1948 sampai kedua umat beragama itu menyatakan perdamaian New Delhi; Setiap tanggal 1 dan 15 bulan Imlek umat Konghucu disarankan untuk berpuasa (perbuatan harus selaras dengan Watak Sejati). Pun jalan mencapai Dao (Tao) harus berpuasa.
Sejatinya kehadiran shaum ramadhan 1442 H menjadi modal utama untuk meneguhkan kesatuan agama-agama sekaligus membangun solidaritas antaragama yang kian memudar di tatar Sunda.()