OLEH: TEGUH MULYADI – Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah Jawa Barat
BANDUNGMU.COM – Iman merupakan urusan hati. Kondisinya cenderung kurang stabil, kadang-kadang bertambah (makin mendalam) atau bahkan berkurang (makin dangkal). Iman itu dapat naik, tetapi juga sangat mungkin untuk turun.
Dalam konteks bulan Ramadhan ini, apa yang dapat kita tangkap kalau dikaitkan dengan masalah iman yang cenderung naik dan turun? Dalam Al Quran ditegaskan puasa atau shiyaam di bulan Ramadhan fungsinya adalah agar pelaku shiyaam tersebut “bertambah takwanya” kepada Allah SWT.
Dalam Al Quran (Al Baqarah [2]: 183) terdapat beberapa kata kunci yang perlu sekali dipahami sebaik-baiknya. Di antaranya kata kunci “aamanuu”, “kutiba”, “shiyaam”, “tattaquuna”, dan ditambah satu kata kunci lagi dalam ayat berikutnya (Al Baqarah [2] : 184), yakni “ayyaaman ma’duudaatin”.
Kata kunci “aamanuu” (mereka yang telah beriman) mengandung arti bahwa mereka kelompok orang yang telah terbuka menerima dan meyakini adanya (eksistensi) Allah SWT dengan segala atribut (apa saja yang dilekatkan) kepada Allah SWT, seperti sifat Esa-nya, Mahakuasa-nya, Maha Pemurah-nya, Maha Pengasih-nya, Pemilik Hari Kiamat, Pengangkat Rasul, dan sebagainya.
Sekalipun demikian, orang-orang yang tergolong “aamanuu” tersebut masih perlu distabilkan ketakwaannya (la’allakum tattaquuna). Artinya, ada hubungan erat antara iman (“aamanuu”) dan takwa (tattaquuna).
Tampaknya antara kedua hal itu, iman dan takwa, tidak berhubungan kolerasional (hubungan timbal balik), tetapi lebih tampak hubungan linier (garis menuju satu titik), yaitu tinggi-rendahnya kualitas ketakwaan (“tattaquuna”) sangat berpengaruh terhadap mendalam-dangkalnya iman (“aamanuu”).
Sekarang persoalannya apa yang dimaksud dengan “takwa” itu? Takwa mengandung arti menjaga, menghindari, menjauhi, atau menjaga diri dari, menghindari diri dari, atau menjauhi diri dari sesuatu. Bisa juga diartikan dengan lebih singkat, yaitu “takut”.
Manusia perlu takut pada dua objek yang sama-sama akan mampu mengancam manusia, yaitu takut melawan hukum syariaat yang berlaku dalam ajaran Al Quran dan As Sunnah sebagai penjelasnya. Kedua hukum tersebut adalah taat kepada Allah SWT.
Takwa pada konteks ini, banyak ditentukan oleh berhasil atau tidaknya melaksanakan shiyaam yang semula berarti menahan atau mengendalikan.
Yakni menahan diri dari mengendalikan diri dari sesuatu, makan dan minum (urusan perut dan urusan keduniaan), dan tuntutan kelamin (urusan seksual dan urusan kenikmatan).
Jangan sampai terjadi hati (qalbun) orang beriman terkurung oleh tawaran liar dari makan-minum dan tuntutan kelamin tersebut.
Oleh sebab itu, “shiyaam” perlu diwajibkan (kutiba), dalam arti dilatihkan secara terus-menerus selama satu bulan penuh (ayyaman ma’duudaatin) dalam bulan Ramadhan, bagi kaum mukmin yang telah balig tanpa kecuali sampai akhir hayatnya.
Oleh karena itu, proses pelaksanaan shaum/shiyaam/puasa perlu diperhatikan mulai dari ketulusan/keikhlasan niat, semangat melaksanakan, dan menambah amalan sahih yang lain (sedekah, menjaga lisan serta tindakan, iktikaf, mempelajari Al Quran, zikir, dan sebagaimananya).
Insyaallah dengan acara itu, shaum/shiyaam/puasa Ramadhan mampu memperkuat dan memperkukuh iman kita.***
Referensi: (1) Quraish Shihab, Tafsir Al-Qur’anul Al-Karim, 1997, (2) Ahmad Musthafa Al Maraghi, Terjemah Tafsir Al Maraghi, Juz ke-2, hlm. 130.