Oleh: Ace Somantri*
BANDUNGMU.COM — Resepsi milad Persyarikatan Muhammadiyah terus berlangsung meriah di berbagai pelosok negeri, mulai dari awal November hingga akhir Desember 2024. Acara ini digelar di berbagai tingkatan, dari wilayah hingga ranting. Antusiasme warga sangat beragam dalam merayakan momen tahunan ini, yang menjadi refleksi atas hari lahir gerakan sosial Islam yang begitu legendaris.
Sosok Kiai Ahmad Dahlan–sang pendiri Muhammadiyah–bersama para sahabatnya berhasil membawa perubahan besar, menciptakan peradaban yang melampaui batas waktu, melintasi zaman, dan diwariskan lintas generasi. Dengan menjadikan Islam sebagai sumber pencerahan, Muhammadiyah mampu mengubah kegelapan tirani sosial menjadi cahaya pembebasan dan pencerahan bagi umat.
Setiap November, perayaan milad Muhammadiyah telah menjadi tradisi tahunan. Namun, hal ini bukanlah sebuah ritual untuk mengkultuskan sejarah kelahiran sosok manusia, melainkan sebuah momentum refleksi. Tujuannya adalah membangun semangat dan motivasi para penggerak Muhammadiyah agar tetap berenergi dan tidak mengalami kemunduran dalam girah berorganisasi, sekaligus menjadi ajang evaluasi dan penyegaran gerakan agar terus bergerak dinamis tanpa henti.
Seperti halnya manusia yang akan meninggal jika berhenti bernapas, Muhammadiyah juga akan kehilangan eksistensinya jika napas gerakannya terhenti. Napas gerakan Muhammadiyah terletak pada keberadaan dan semangat para penggeraknya, mulai dari pimpinan hingga anggota. Semakin tinggi semangat dan girah mereka dalam mendinamiskan setiap langkah, semakin kuat pula napas yang menghidupkan dan mempertahankan keberlanjutan Muhammadiyah.
Para penggerak Persyarikatan Muhammadiyah berperan sebagai dinamisator yang memastikan kelancaran berbagai program gerakan. Sinergi antara tingkatan pimpinan, dari pusat hingga ranting, serta kolaborasi antara unit-unit pembantu pimpinan, seperti majelis dan lembaga, menjadi kunci untuk mencapai tujuan bersama.
Bagi para pembaru yang kritis, gerakan tidak cukup berhenti pada wacana atau teori, tetapi harus diwujudkan dalam aksi nyata yang praktis. Pembaru diharapkan mampu melakukan revolusi pemikiran yang melahirkan gagasan visioner, disertai tindakan konkret yang sesuai kapasitas dan dilakukan secara bertahap. Klaim perubahan dan pembaruan akan menjadi sia-sia jika hanya berhenti pada wacana di atas meja atau mimbar tanpa diwujudkan dalam tindakan nyata.
Harapan dan cita-cita Persyarikatan Muhammadiyah sangat luhur, dengan tujuan yang begitu mulia. Pada milad ke-112, Muhammadiyah mengusung tema yang inspiratif dan relevan, yaitu “Muhammadiyah Menghadirkan Kemakmuran.”
Sesungguhnya, upaya Muhammadiyah untuk memakmurkan masyarakat, bangsa, dan negara telah dimulai sejak lama, disesuaikan dengan situasi dan kondisi zamannya. Dengan segala sumber daya yang dimiliki, Muhammadiyah secara perlahan berhasil bangkit dan mengambil peran penting, termasuk dalam melawan penjajahan dan imperialisme.
Upaya tersebut tidak dilakukan tanpa modal dan biaya. Bahkan, persenjataan sederhana yang dimiliki saat itu bukanlah hasil temuan di jalanan, melainkan diperoleh melalui perjuangan yang penuh pengorbanan. Segala bentuk perbekalan untuk melawan penindasan, kemiskinan, dan kebodohan tentu membutuhkan sumber daya yang tidak sedikit.
Namun, makna memakmurkan saat ini lebih ditekankan pada bagaimana Muhammadiyah benar-benar hadir untuk mensejahterakan secara materiil dalam kehidupan duniawi. Tantangannya bukan sekadar memiliki aset yang melimpah, melainkan memastikan kekayaan tersebut berdampak pada kesejahteraan. Ironisnya, sering kali para pejuang yang menggerakkan Muhammaduyah justru hidup jauh dari standar kecukupan yang layak.
Pembaruan dalam memakmurkan umat adalah niat mulia yang harus diwujudkan secara nyata, bukan sekadar konsep yang melayang di angkasa atau berhenti pada tema-tema dalam acara seremonial milad yang hanya terpampang di flyer, spanduk, dan baliho. Sebagai organisasi tajdid, setiap wacana gerakan harus mampu diimplementasikan secara konkret, memberikan manfaat nyata, dan menjadi solusi atas berbagai persoalan yang dihadapi umat.
Memakmurkan umat tidak cukup berhenti pada kata-kata, tetapi harus diwujudkan dalam tindakan yang dirasakan oleh semua pihak, baik internal maupun eksternal yang terlibat dalam perjuangan. Hal ini memerlukan perhatian serius yang dilandasi pemahaman yang tepat, dengan mengedepankan keadilan, keadaban, dan keteladanan. Tradisi positif ini harus terus dibudayakan sebagai rujukan dalam menjalankan misi pembaruan.
Indikator memakmurkan memiliki pendekatan yang sangat pragmatis. Dalam konteks sosial-ekonomi, upaya memakmurkan dapat dijabarkan dalam tiga langkah utama. Apa saja?
Pertama, memelihara kesejahteraan jasmani dan ruhani dengan memastikan pemenuhan kebutuhan hidup yang stabil. Kedua, meningkatkan kesejahteraan melalui perbaikan kualitas dan kuantitas untuk mencukupi kebutuhan hidup dengan lebih baik. Ketiga, membangun dan mengembangkan kesejahteraan hingga melampaui kebutuhan dasar, sehingga mampu berbagi manfaat secara lebih luas.
Hal ini juga menjadi tanggung jawab Muhammadiyah. Pada setiap level, dari wilayah, daerah, cabang, hingga ranting, Muhammadiyah dituntut mampu memakmurkan kesejahteraan institusi dan warganya sesuai dengan situasi, kondisi, dan kapasitas masing-masing. Pemeliharaan, peningkatan, dan pengembangan kesejahteraan yang bersifat pragmatis ini dapat dipercepat melalui sinergi antara pimpinan persyarikatan dan pimpinan amal usaha Muhammadiyah.
Situasi tersebut perlu disikapi dengan bijak sebagai pelajaran dan hikmah bagi semua pihak agar tidak lengah dalam pengelolaan institusi amal usaha Muhammadiyah. Amanah yang diberikan oleh Persyarikatan bukanlah sekadar tanggung jawab biasa, melainkan mengandung pesan penting untuk dijaga, dipelihara, dan ditingkatkan. Idealnya, amanah tersebut harus dimajukan, baik secara kualitas maupun kuantitas sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan amal usaha dan seluruh warga yang terlibat di dalamnya.
Kasus yang terjadi di UMT seharusnya menjadi peringatan bagi institusi lain yang mungkin menghadapi situasi serupa tetapi memilih untuk diam dan bersikap tenang. Pengelolaan institusi yang kreatif, inovatif, agresif, dan akseleratif, serta berfokus pada kesejahteraan warga amal usaha yang dengan sepenuh hati menjaga amanah, akan membawa kebaikan nyata bagi semua pihak. Sebaliknya, jika sebuah amal usaha gagal mensejahterakan warganya, itu menjadi tanda bahwa masih ada kekurangan dalam pengelolaannya yang harus segera diperbaiki untuk memenuhi standar yang seharusnya.
Arah gerakan memakmurkan bagi Muhammadiyah bukan sekadar mimpi belaka. Dengan kapasitas dan potensi yang dimiliki, tidak ada alasan bagi amal usaha Muhammadiyah untuk tidak mensejahterakan para penggeraknya, selama para pemimpin amal usaha memiliki karakter sebagai pekerja keras dan pejuang militan. Pemimpin yang dibutuhkan adalah mereka yang tidak hanya hadir dan duduk di meja, menggoyangkan kursi, atau memegang alat tulis, apalagi sekadar mengandalkan simbol gelar akademik yang panjang.
Amal usaha Muhammadiyah harus berdiri secara mandiri dan swadaya, membutuhkan kecerdikan serta kepiawaian tim untuk menggali dan meraih peluang yang ada di alam semesta. Letupan kecil yang muncul di amal usaha Muhammadiyah di Tangerang bukan berarti tempat lain bebas dari persoalan serupa. Sangat mungkin hal yang sama terjadi di tempat lain, namun tertutupi karena tidak ada reaksi atau tindakan.
Kesejahteraan pekerja, karyawan, guru, dosen, perawat, dokter, dan profesi lain yang terlibat dalam amal usaha Muhammadiyah pada umumnya masih belum mencapai standar kesejahteraan yang memadai secara pragmatis. Oleh karena itu, tema “Memakmurkan” yang diangkat Muhammadiyah sangat tepat dan menjadi pesan penting yang harus diwujudkan oleh para pemimpin di berbagai unit amal usaha Muhammadiyah. Wallahu a’lam.
*Dosen UM Bandung dan Wakil Ketua PWM Jabar