BANDUNGMU.COM, Bandung — Jika musim hujan tiba dan banjir melanda Dayeuhkolot atau Baleendah di Kabupaten Bandung, nama Sungai Citarum akan segera disebut.
Sungai ini kerap menjadi kambing hitam dalam setiap bencana banjir yang menimpa wilayah tersebut. Namun, jauh dari sekadar penyebab banjir, Citarum memiliki sejarah panjang, nilai ekonomi, dan peran sosial yang krusial bagi jutaan warga Jawa Barat.
Mengalir sepanjang 300 kilometer dari lereng Gunung Wayang di Kabupaten Bandung hingga bermuara di Ujung Karawang, Citarum adalah sungai terpanjang di Jawa Barat.
Sepanjang alirannya, Citarum menampung air dari berbagai anak sungai, termasuk Cikapundung dan Cibeet. Sungai ini bukan sekadar aliran air, tetapi juga merupakan urat nadi bagi kehidupan masyarakat di sekitarnya.
Sejak lama, ia menyuplai kebutuhan air minum, mengairi sawah di Subang, Karawang, hingga Bekasi, serta menyediakan listrik melalui tiga pembangkit listrik tenaga air (PLTA) besar di Saguling, Cirata, dan Jatiluhur.
Citarum juga menyimpan warisan sejarah dan kebudayaan Sunda. Pada abad ke-4 hingga ke-7, sungai ini menjadi saksi kejayaan Kerajaan Tarumanagara. Bahkan, berbagai situs bersejarah seperti Situs Batujaya dan Situs Cibuaya mengungkap jejak-jejak permukiman kuno di sekitar hilir sungai.
Dalam Naskah Bujangga Manik, sebuah karya sastra dari abad ke-15, Citarum tercatat sebagai jalur penting yang dapat dilalui perahu kecil, di mana penduduk setempat telah lama mengandalkan sumber daya perikanannya untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Sayangnya, dalam beberapa dekade terakhir, kondisi Citarum kian memburuk akibat pencemaran yang merajalela. Sejak akhir 1980-an, pesatnya industrialisasi di sekitar sungai membawa konsekuensi yang berat. Limbah dari sekitar 500 pabrik, terutama tekstil, setiap hari mengalir ke sungai ini.
Diperkirakan lebih dari 20.000 ton limbah padat dan 340.000 ton air limbah industri mencemari Citarum setiap hari. Tak heran, pada 2007, sungai ini mendapat predikat sebagai salah satu sungai paling tercemar di dunia.
Airnya yang dulu jernih kini diwarnai hitam pekat di beberapa titik dan kerap mengeluarkan bau tak sedap, mengingatkan kita akan kerusakan yang dialaminya.
Kerusakan lingkungan ini berdampak langsung pada kehidupan flora dan fauna di Citarum. Puluhan spesies ikan yang dulunya menghuni sungai dan waduk-waduknya kini berkurang drastis.
Di Waduk Jatiluhur, misalnya, jumlah spesies ikan menurun dari 34 pada 1977 menjadi hanya 20 spesies pada 2008. Beberapa jenis ikan asli terpaksa beradaptasi atau menghilang dari lingkungan yang berubah dari sungai deras menjadi waduk yang tenang.
Berbagai upaya untuk mengatasi pencemaran Citarum telah dilakukan. Sejak banjir besar melanda Bandung Selatan pada 1986, pemerintah menjalankan proyek normalisasi dengan memperlebar dan memperdalam sungai serta meluruskan alirannya.
Namun, proyek ini tidak serta-merta membawa perbaikan berarti. Sungai Citarum tetap menjadi tempat pembuangan sampah domestik maupun industri.
Meski pemerintah memulai proyek revitalisasi pada 2011 dengan target mengembalikan Citarum menjadi sumber air bersih, kondisi sungai tetap memprihatinkan.
Kini, tantangan terbesar adalah membangun kesadaran masyarakat dan industri untuk menjaga kelestarian Citarum. Sungai ini adalah sumber kehidupan, bukan hanya bagi manusia, tetapi juga bagi flora dan fauna di dalamnya.
Aksi nyata dan kebijakan yang tegas diperlukan untuk mengembalikan kejayaan Citarum sebagai sungai yang bersih dan lestari. Mari bersama-sama menjaga Citarum, nadi kehidupan yang telah memberikan begitu banyak bagi kita.***