BANDUNGMU.COM, Kudus — Berbusana ala Jawa di acara Pasamuan Perayaan Ta’sis 488 Masjid Al-Aqsha Menara Kudu pada Kamis malam (08/02/2023), Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Abdul Mu’ti mejelaskan tentang persentuhan peradaban Islam-Arab dengan Barat.
Mu’ti menjelaskan bahwa pada awal persentuhan peradaban Islam-Arab dengan Barat begitu damai. Tidak banyak pertentangan. Yang ada malah lebih banyak dukungan dan kemudian melahirkan budaya yang unik, perpaduan antara Islam dan Barat.
Corak budaya, imbuh Mu’ti, dapat dilihat dari cara makan dan model busana. Misalnya di Barat atau Eropa pada masa awal yang kental dengan kebudayaan dari Kristen, kemudian Islam, busa yang dikenakan perempuan-perempuan di sana merupakan pakaian yang tertutup rapat dan kemudian bergeser seperti yang ada sekarang ini.
Guru Besar Pendidikan Islam ini menjelaskan bahwa busana terbuka yang dikenakan oleh perempuan Barat sekarang merupakan bentuk atau simbol perlawanan dari dominasi laki-laki terhadap perempuan.
“Busana perempuan Eropa yang serba terbuka itu sebenarnya simbol dari protes dan simbol dari tidak sekedar liberasi, tetapi liberalisasi untuk mengekspresikan berbagai hal dalam kehidupan mereka,” ucap Mu’ti seperti bandungmu.com lansir dari laman resmi Muhammadiyah.
Termasuk selera musik, Mu’ti mengatakan bahwa musik jazz yang ngetren di Eropa sebenarnya bukan milik atau budaya asli dari orang-orang kulit putih Eropa. Musik jazz adalah simbol perlawanan politik orang kulit hitam akibat tekanan politik.
Mu’ti menuturkan bahwa pada awal kelahirnya, musik jazz merupakan musik kelas masyarakat bawah, meskipun saat ini menjadi milik komunitas atau masyarakat kelas atas. Oleh karena itu, menurut Mu’ti, seni merupakan pilar peradaban.
Seni juga sebagai salah satu tolok ukur tinggi-rendahnya peradaban. Puncak-puncak peradaban di antara ukurannya adalah seni, baik itu seni musik, seni rupa, maupun arsitektur. Seni juga bisa digunakan untuk melihat persentuhan lintas budaya.
Di Indonesia ada Masjid Menara Kudus yang dengan gamblang menunjukkan persentuhan budaya. Sunan Kudus dengan sengaja menggabungkan berbagai unsur dan nilai Hindu dengan nilai Islam.
“Kekuatan Wali Songo sebagai pendakwah Islam di tanah Jawa itu kemampuannya melakukan asimilasi dan juga adaptasi. Bahkan adopsi budaya-budaya masyarakat setempat sebagai peradaban yang mungkin dia masih utuh ditampilkan sebagaimana adanya. Atau diberikan nilai yang berbeda, walau bentuknya masih sama,” tandasnya.
Bahkan kebudayaan Islam menjadi struktur utama dari pembentukan budaya di Indonesia. Islam menjadi kekuatan kultural yang tanpa disadari bahwa ritual Islam tersebut melekat di dalam berbagai ekspresi budaya di Indonesia.***