PMB Uhamka
Sosbud

”Panyinglar Wiyasa”, Tradisi Unik Tolak Bala Warga Desa Nyalindung

×

”Panyinglar Wiyasa”, Tradisi Unik Tolak Bala Warga Desa Nyalindung

Sebarkan artikel ini
Upacara Panyinglar Wiyasa di Desa Nyalindung, Cipatat, KBB. (Foto: Inilahkoran.com).

BANDUNGMU.COM – Kampung Pasirsalam, Desa Nyalindung, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, seakan-akan tidak pernah habis menyuguhkan beragam kebudayaan dan adat istiadat yang masih dijaga hingga saat ini.

Tidak hanya upacara Hajat Arwah, Kampung Pasirsalam ternyata masih memiliki sebuah ritual kebudayaan yang dipercaya untuk menolak bala atau musibah.

Terlebih dalam menghadapi pandemi penyakit, para leluhur orang Sunda, khususnya di Kampung Pasirsalam telah mengajarkan adat istiadat yang masih terjaga hingga turun-temurun.

Dikenal dengan upacara Panyinglar Wiyasa, Panyinglar memiliki arti menghindari budaya, sementara Wiyasa berarti aneka ragam bentuk penyakit.

Dalam pelaksanaan ritual Panyinglar Wisaya ini, ada kekhususan tersendiri, yaitu pelaksanaan upacara harus dilakukan di perempatan jalan atau istilah masyarakat Kampung Parakansalam menyebutnya jalan ngolecer.

Baca Juga:  Merasakan Denyut Gerakan Muhammadiyah di Daerah (2)

Upacara ini bertujuan untuk menangkal penyakit yang datang dari berbagai arah mata angin, mulai dari jalan arah utara, selatan, barat dan timur. Makna penangkal ini disebut sawen atau tolak bala.

Pemangku adat Kampung Pasirsalam, Abah Otib, mengatakan upacara akan dilakukan dengan doa secara adat yang disebut doa panyinglar tolak bala untuk menghindari penyakit.

“Berdoanya harus di perempatan jalan atau di jalan ngolecer supaya daerah kita terselamatkan dari bahaya dan dijauhkan dari malapetaka,” katanya belum lama ini.

“Inilah jalan yang menunjukkan arah barat, selatan, timur dan utara bentuknya seperti baling-baling atau kolecer,” sambungnya.

Baca Juga:  Manisnya Wajit Cililin yang Melegenda

Mengawali acara, seluruh masyarakat berkumpul di perempatan jalan atau jalan ngolecer.

Kemudian, semua warga duduk bersimpuh sambil mempersiapkan persyaratan, seperti nasi tumpeng, air putih, kopi manis, kopi pahit, rujakeun, deweugan, hahampangan, parupuyan, bakaran kemenyan dan sesajen lainnya.

“Untuk sawel penangkal penyakit disiapkan rumput palias, pohon hanjuang merah, areuy pohon srigading,” sebutnya.

Masyarakat Kampung Pasirsalam meyakini, berdoa kepada Allah Subhanahuwata’ala bisa dengan menggunakan syarat alam, seperti srigading, hanjuang dan rumput palias sebagai penangkal penyakit.

“Artinya jangan sampai terjadi wabah penyakit yang berat,” ujarnya.

Setelah persiapannya lengkap, maka Abah Otib sebagai pemangku adat langsung memimpin upacara sadupuhun kahyang agung, yaitu permohonan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, yang dilanjutkan dengan pembacaan doa oleh ulama setempat.

Baca Juga:  Mengenal Situ Uncal di Kota Bandung yang Kini Sudah Lenyap

Dengan khusyu seluruh masyarakat berdoa memohon keselamatan lahir dan batin agar Kampung Parakansalam terhindar dari marabahaya.

Usai berdoa, upacara dilanjutkan dengan ritual yang dilakukan oleh pemangku adat, yakni memasang hanjuang, rumput palias dan srigading yang di tempatkan di perempatan jalan atau jalan ngolecer.

Lalu, sambung Bah Otib, dilanjutkan ritual dengan membuat garis baling-baling di perempatan jalan atau jalan ngolecer yang bermakna simbol budaya larangan penyakit agar tidak masuk ke Kampung Pasirsalam.

“Terakhir pemangku adat kembali berdoa memohon kepada Allah Subhanahuwata’ala agar Kampung Pasirsalam terhindar dari ancaman dan marabahaya,” bebernya. (Agus Satia Negara/Inilahkoran.com).

PMB Uhamka