BANDUNGMU.COM — Sejarah dan filosofi leuit, tempat menyimpan padi yang biasanya ada di perdesaan Sunda dan Baduy.
Leuit termasuk warisan budaya tak benda Indonesia. Nilai sejarah dan filosofinya begitu dalam sehingga keberadaannya sangat disayangkan kalau sampai hilang tak berbekas.
Mengutip laman bebas Wikipedia, Kamis (11/08/2022), secara tradisional, leuit dibangun dari balok-balok kayu dan dilapisi oleh anyaman bambu, dengan kapasitas penyimpanan hingga tiga ton padi.
Meski peran ekonomis leuit sudah berkurang karena modernisasi pertanian padi, komunitas Baduy dan sejumlah wilayah lainnya masih menggunakan leuit secara rutin sebagai mekanisme ketahanan pangan.
Di luar itu, leuit juga menjadi objek wisata di kampung-kampung adat di bagian barat daya kepulauan Sunda Besar.
Sejarah dan lokasi
Leuit sudah dikenal oleh masyarakat Sunda sejak sebelum sawah basah diperkenalkan di pulau Jawa. Istilah “leuit” digunakan oleh komunitas Sunda, terutama di wilayah Priangan (Jawa Barat) dan Banten.
Pada wilayah-wilayah tertentu seperti Cirebon, istilah “lumbung” digunakan. Leuit juga digunakan oleh komunitas suku Baduy, terutama komunitas Baduy Luar.
Komunitas Baduy Dalam menamakan leuit dengan “lenggang”. Rata-rata rumah tangga Baduy memiliki lebih dari 1 leuit atau lenggang – 1,6 lenggang tiap rumah tangga Baduy Dalam dan 1,2 leuit tiap rumah tangga Baduy Luar.
Secara umum, leuit digunakan untuk menyimpan padi perseorangan/keluarga, meskipun sejumlah bangunan penyimpanan bersama juga disebut leuit.
Leuit dibangun di bawah pepohonan yang rindang untuk melindungi isinya dari air hujan. Namun, di lokasi yang masih mendapat sinar matahari.
Biasanya, leuit-leuit dibangun berdekatan satu sama lain di suatu titik yang berjarak sekitar 20 meter dari permukiman warga. Contohnya di Kampung Cibeo, bagian dari komunitas Baduy Dalam, terdapat sekitar 200 leuit.
Arsitektur
Denah lantai leuit berbentuk bujur sangkar dan pada umumnya terbangun lebih tinggi dari orang dewasa sehingga tangga dibutuhkan untuk masuk atau keluar dari leuit.
Tembok leuit melebar sehingga bangunan tersebut makin besar ketika makin ke atas. Bentuk ini melambangkan kemakmuran keluarga pemilik leuit.
Batu fondasi dari leuit disebut “umpak” dan umumnya dibangun dengan batu atau bata. Selain sebagai fondasi, “umpak” juga berfungsi untuk mencegah air tanah langsung merembes ke tiang-tiang kayu.
Kerangka dan tiang-tiang leuit dibangun menggunakan balok-balok kayu dan dinding (“bilik”) yang terbuat dari anyaman bambu ditempelkan ke kerangka tersebut untuk menutupi ruangan leuit.
Bilik itu sendiri dijepit dengan papan-papan “iga” yang bertujuan untuk menahan tekanan apabila leuit berisi penuh. “Iga” dipasang longgar, sehingga akan rapat saat leuit penuh, dan melengkung kedalam apabila leuit kosong atau berisi sedikit.
Atap leuit, dikenal sebagai “hateup”, dibuat dari genteng ataupun bahan lainnya, seperti serat pohon. Untuk mencegah masuknya hama tikus, di sejumlah wilayah leuit dipasangi papan kayu bundar “gelebek” di atas tiang penyangga sehingga hama tidak dapat memanjat tiang.
Pembangunan leuit, jika dijalankan oleh satu keluarga, umumnya membutuhkan waktu sekitar satu bulan.
Fungsi ekonomis
Leuit terutama digunakan menyimpan padi selama jangka panjang. Padi yang dimasukkan leuit ditumpuk sesuai urutan tertentu dan diambil sesuai urutan tertentu pula untuk memaksimalkan jangka padi bisa disimpan.
Pola penyimpanan tradisional ini dikabarkan bisa menyimpan padi awet selama 20 tahun. Berdasarkan kepercayaan dan tradisi setempat, leuit yang baru diisi padi akan dibiarkan terbuka selama 3-7 hari terlebih dahulu, dan ada hari-hari tertentu dalam satu minggu yang dianggap baik untuk mengambil atau menyimpan padi.
Setiap leuit umumnya dapat menampung 1.000 ikat padi atau 2,5-3 ton. Di luar dari penyimpanan pribadi, ada juga leuit-leuit bersama dan penduduk diharuskan menghibahkan sebagian hasil panen ke leuit tersebut, untuk digunakan pada upacara adat atau untuk warga yang berkekurangan. Di Sukabumi, leuit-leuit seperti ini dikenal sebagai leuit si jimat.
Sejak berjalannya Revolusi Hijau, peran ekonomis leuit berkurang jauh dikarenakan modernisasi pertanian di Jawa Barat. Meskipun begitu, peran leuit tetap bertahan di masyarakat Baduy.
Masyarakat Baduy bercocok tanam padi huma (ladang), dan padi ini pantang diperjualbelikan menurut tradisi Baduy, sehingga padi tetap disimpan di dalam leuit. Di desa-desa Baduy Luar, biaya untuk membangun satu leuit berukuran kecil melebihi Rp 5 juta.
Fungsi budaya
Leuit berperan penting dalam budaya Sunda dan Baduy. Di Banten Selatan, upacara Seren Taun melibatkan seremoni menyimpan padi ke dalam leuit, khususnya ritus nginebkeun dan ngareremokeun.
Leuit juga merupakan suatu lambang kemakmuran di komunitas Baduy dan di kampung-kampung adat Jawa Barat, misalnya, di Sukabumi.
Semakin banyak leuit yang dibangun atau dimiliki suatu keluarga, semakin tinggi posisi sosial mereka. Leuit, khususnya leuit si jimat, juga digunakan sebagai motif batik dari Lebak dan Sukabumi.
Pada 2017, leuit didaftarkan di dalam katalog Warisan Budaya Takbenda Indonesia. Sejumlah pemerintah kabupaten di Jawa Barat, misalnya Purwakarta dan Karawang, mulai membangun kembali leuit sebagai konservasi budaya maupun untuk menjaga ketahanan pangan.
Sejumlah kampung adat atau sanggraloka juga menjadikan leuit sebagai objek wisata.
Leuit atau lumbung padi merupakan wadah atau tempat untuk menyimpan padi hasil panen warga. Bentuk leuit sekilas seperti rumah panggung. Namun, hanya memiliki satu pintu pada bagian dekat atap dan tidak dilengkapi dengan jendela.
Karakteristik leuit bangun ruangnya berbentuk nyikas: kecil bagian bawah dan besar bagian tengah hingga ke bagian atas. Bahan baku yang digunakan membangun leuit terdiri atas kayu, bambu, ijuk, dan daun kiray.
Secara umum, fungsi leuit adalah untuk kepentingan pangan sehari-hari. Selain itu, leuit juga berfungsi untuk menyimpan padi yang merupakan cadangan hingga panen berikutnya sebagai bentuk ketahanan pangan.
Sirkulasi padi di leuit dilakukan dengan cara menyimpan padi yang baru dipanen di atas tumpukan padi yang sudah ada. Sementara itu untuk mengeluarkannya, maka padi pada tumpukan yang paling atas diambil terlebih dahulu.
Hal ini menunjukkan bahwa pola penyimpanan padi sudah tertata dengan baik. Cara ini membuat padi awet dan mampu bertahan dalam jangka waktu yang lama bahkan hingga 20 tahun.
Pada tiga kasepuhan di Kabupaten Sukabumi (Sinar Resmi, Cipta Mulya, dan Cipta Gelar), jenis leuit terbagi tiga. Pertama, leuit olot (pemimpin kasepuhan); kedua, leuit si jimat (komunitas); dan leuit masyarakat.
Pengertian leuit olot adalah leuit yang digunakan untuk kepentingan pemimpin kasepuhan. Leuit si jimat merupakan leuit komunal yang padinya dapat dikeluarkan tatkala ada kekurangan pangan dan upacara tradisional berskala besar. Leuit masyarakat adalah leuit milik warga kasepuhan.
Setiap kepala keluarga rata-rata memiliki 1 hingga 3 leuit di mana setiap leuit mampu menampung sekitar 1000 pocong/ikat padi kering atau sekitar 2,5 hingga 3 ton.
Kapasitas tersebut juga bergantung pada kepemilikan huma dan sawah warga. Ada beberapa aturan yang mengharuskan sebagian kecil hasil panen dihibahkan untuk leuit Si Jimat.
Perawatan leuit dilakukan secara rutin berupa penggantian atap leuit dan pemberian sawen. Lantai leuit juga diberi parupuyan sebagai tempat untuk membakar kayu gaharu (garu).
Pada beberapa daerah, seperti kampung Naga, untuk mengusir hama tikus yang biasanya masuk dan memakan padi dalam leuit dilakukan dengan menggunakan gelebek, yaitu papan kayu bundar berdiameter 50 cm dipasang di atas empat tiang penyangga leuit. Papan tersebut dapat menghalangi tikus agar tidak naik ke dalam leuit.
Proses memasukkan dan mengeluarkan padi dari leuit memerlukan beberapa tahap upacara yang tidak boleh terlewatkan seperti perhitungan waktu yang tepat dan harus sepengetahuan Olot (pemimpin tertinggi kasepuhan).***
___________________________________________
Sumber: Wikipedia
Editor: Feri A