PMB Uhamka
Sosbud

Asep Sunandar Sunarya, Dalang Asal Bandung Yang Naikkan Pamor Wayang Golek Hingga Mancanegara

×

Asep Sunandar Sunarya, Dalang Asal Bandung Yang Naikkan Pamor Wayang Golek Hingga Mancanegara

Sebarkan artikel ini
Ki dalang Asep Sunandar Sunarya yang kembali membangkitkan pamor seni pertunjukan wayang golek hingga terkenal di mancanegara (Foto: Wikipedia).***

BANDUNGMU.COM, Bandung — Warga Jawa Barat tentu tidak asing dengan sosok maestro wayang golek dari Kampung Giriharja, Jelekong, Kabupaten Bandung, yaitu Asep Sunandar Sunarya.

Mengutip Wikipedia, Asep Sunandar Sunarya, yang juga dikenal sebagai Ki Asep Sunandar Sunarya, lahir pada 3 September 1955 dan wafat pada 31 Maret 2014, merupakan dalang wayang golek yang sangat terkenal di Indonesia.

Sebagai dalang wayang golek, Asep Sunandar Sunarya (dikenal sebagai Abah di rumah dan Eyang Abiyasa di udara) sangat konsisten dengan bidang yang digelutinya. Ia begitu menyatu dengan dunia wayang golek sehingga memperoleh berbagai penghargaan dari tingkat lokal, provinsi, nasional, hingga internasional.

Pamor wayang naik

Tanpa Asep Sunandar Sunarya, tokoh wayang Cepot mungkin tidak akan sepopuler sekarang. Dengan kreativitas dan inovasinya, dia berhasil mengangkat derajat wayang golek yang sebelumnya dianggap sebagai seni kampungan oleh beberapa orang.

Inovasinya termasuk menciptakan wayang Cepot yang bisa mengangguk, tokoh buta yang muntah mi, Arjuna dengan panahnya, Bima dengan gada, serta pakaian wayang yang terkesan mewah.

Kesuksesan dan ketenaran diperoleh Asep dari perjuangannya yang tak kenal lelah, menghadapi berbagai dinamika kehidupan yang sering kali tidak menyenangkan. Sebelum meraih suka, duka lebih dulu menghampiri, dan seringkali suka dan duka menyatu dalam perjalanan panjang seorang Asep.

Tidak banyak yang tahu bahwa perjalanan kariernya sebagai dalang penuh liku. Di awal kariernya, Asep sering mendapatkan kritikan pedas, terutama dari sang ayah, Abah Sunarya. Setiap selesai pagelaran, sang ayah selalu mengatakan jelek terhadap apa yang Asep lakukan.

Baca Juga:  Pertunjukan Wayang Golek di Kawasan Bandung Kembali Menggeliat

“Abah itu orang tua yang pelit sekali untuk tertawa, tetapi anehnya hanya saat saya mendalang dengan lawakan, Abah tertawa. Bagi saya, sepedas apa pun kritikannya, saya jadikan sebagai pupuk dan cambuk yang memacu kreativitas dan inovasi. Saya bisa menjadi seperti sekarang berkat pengalaman dari hari-hari sebelumnya,” ujar Asep.

“Saya harus berterima kasih kepada siapa pun yang mengkritik saya, baik dengan dasar kesal atau sayang. Di samping itu, mungkin perlu saya tegaskan bahwa segala kreativitas dan inovasi yang saya lakukan adalah upaya agar seni Sunda wayang golek yang memiliki nilai luhur tetap hidup di segala zaman. Termasuk di era sekarang yang dipenuhi dengan berbagai nilai seni dan budaya asing yang masuk ke Indonesia serta dirasakan oleh kita orang Sunda,” katanya.

“Saya yakin jika wayang golek tidak dipelihara melalui inovasi, pasti akan tergeser oleh budaya asing. Yang saya hargai adalah nilai-nilai luhur, bukan pakem, bukan wayang golek, bukan kebiasaan turun-temurun,” katanya.

“Menurut saya, pakem wayang golek bukan sesuatu yang statis apalagi sakral. Di sisi lain, saya juga harus memberikan ruang bagi siapa pun yang memiliki pandangan berbeda dengan saya. Silakan saja. Tidak ada gunanya memutuskan silaturahmi karena perbedaan pakem dan hal lain yang bersifat multitafsir,” ungkapnya.

Baca Juga:  Museum Konferensi Asia Afrika dan Dasa Sila Bandung

“Apa yang saya lakukan dalam mengubah wayang golek dengan inovasi, karena saya yakin banyak nilai kemanusiaan dan ketuhanan dalam seni Sunda wayang golek. Yang menghargai apa yang saya lakukan, itu hak mereka, karena bagi saya ini adalah jalan belajar, dan mendalang juga adalah jalan belajar,” tandasnya.

Asep Sukana jadi Asep Sunandar Sunarya

Mimpi sering kali dianggap sebagai bunga tidur, namun banyak yang percaya bahwa mimpi adalah medium Tuhan menyampaikan pengetahuan-Nya kepada manusia.

Pada 1955 di Kampung Giriharja, Bandung, seorang ibu bernama Tjutjun Jubaedah (Abu Tjutjun), istri dalang terkenal Abah Sunarya, mengalami mimpi yang aneh. Dalam mimpinya, anak ketujuh yang dikandungnya tidak boleh diberi nama saat lahir.

Pada 3 September 1955, Abu Tjutjun melahirkan anak ketujuh, seorang bayi laki-laki, dan sesuai mimpinya, bayi tersebut tidak diberi nama. Bayi itu kemudian diasuh oleh adik Abah Sunarya, Ma Jaja, yang belum memiliki anak. Karena bayi itu tidak memiliki nama, Ma Jaja memutuskan untuk memanggilnya Sukana, akronim dari “sa suka na” (sesukanya).

Kemudian, nama Sukana berubah menjadi Asep Sunandar Sunarya setelah Abah Sunarya mengganti namanya saat Asep mendalang di Luragung. Nama Sunarya diambil dari nama ayahnya, yang merupakan tradisi di masyarakat Sunda.

Penghargaan atas karya

Asep Sunandar Sunarya mendapatkan berbagai penghargaan atas karyanya. Pada 1978, ia memenangkan Juara Dalang Pinilih I tingkat Jawa Barat di Binojakrama Padalangan di Bandung. Pada 1985, ia dinobatkan sebagai Dalang Juara Umum tingkat Jawa Barat di Subang dan berhak membawa pulang Bokor Kencana sebagai simbol supremasi padalangan Sunda.

Baca Juga:  Yuk, Berkunjung ke Galeri Ruhiyat Wooden Puppet & Mask Bandung

Pada 1986, Asep menjadi duta kesenian Indonesia ke Amerika Serikat dan karya-karyanya direkam dalam bentuk kaset oleh Dian Record. Pada 1993, ia diundang oleh Institut International De La Marionnette di Charleville, Prancis, sebagai dosen luar biasa dan diberi gelar profesor.

Pada 1995, ia menerima penghargaan Bintang Satya Lencana Kebudayaan. Hingga sekarang, Asep telah menghasilkan lebih dari 100 album rekaman dan memiliki program khusus di televisi swasta berjudul “Asep Show”.

Kehidupan Pribadi

Asep Sunandar Sunarya menikahi Euis Garnewi pada usia 17 tahun dan dikaruniai tiga anak. Pernikahan mereka hanya bertahan tujuh tahun.

Kemudian, ia menikah lagi dengan Elas Sulastri pada usia 23 tahun dan dikaruniai tiga anak, namun pernikahan ini juga berakhir setelah enam tahun. Asep kemudian menikahi Ati dan Sumirat, serta Nenah Hayati, dan dikaruniai beberapa anak dari pernikahan-pernikahan tersebut.

Asep memiliki riwayat penyakit jantung dan berencana berobat ke Singapura. Namun, pada 31 Maret 2014, Asep Sunandar Sunarya meninggal dunia dalam perjalanan menuju Rumah Sakit Al-Ihsan Bandung.***

PMB Uhamka