UMBandung
Islampedia

Bagaimana Kedudukan Harta dalam Islam? Begini Penjelasan Guru Besar UIN Bandung

×

Bagaimana Kedudukan Harta dalam Islam? Begini Penjelasan Guru Besar UIN Bandung

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi. Foto: istockphoto

BANDUNGMU.COM – Guru Besar Ekonomi Syariah UIN Sunan Gunung Djati, Jaih Mubarok, menguraikan kedudukan harta dalam Islam bisa dilihat dari lima hal.

Pertama, teori istikhlaf. Manusia merupakan khalifah di muka bumi yang tunduk hanya kepada Allah dan alam ditundukkan kepada manusia oleh Allah. Dampak dari teori ini adalah bahwa benda hakikatnya milik Allah dan bukan milik manusia.

Dalam hal kepemilikan atas harta, kepemilikan manusia bersifat istikhlaf, artinya posisinya sebagai wakil dari pemilik yang sesungguhnya, yakni Allah. Oleh karena itu, harta wajib diperoleh, dikembangkan, dan digunakan sesuai dengan kehendak Allah (QS Al-Nisa: 29, Al-Taubah: 104).

Kedua, teori gharizah hubb al-mal. Manusia dianugerahi kehendak (iradah) dan banyak nafsu (syahwah muta‘addidah) terkait harta, baik suka terhadap harta (zatnya), memiliknya, maupun suka menggunakan dan atau mengambil manfaatnya (QS Ali ‘Imran: 14 dan Al-Fajr: 19-10).

Baca Juga:  UIN Bandung Gelar Seminar Kewirausahaan Berbasis Budaya dan Lingkungan

Jika tidak memiliki sikap berterima kasih kepada Allah (al-syukr), sabar, zuhud, dan qana‘ah, manusia merupakan makhluk yang tidak pernah puas terhadap apa yang ia miliki.

“Dalam hadits riwayat Imam al-Bukhari dijelaskan bahwa jika Bani Adam (manusia) telah memiliki dua lembah harta, maka pasti dia akan mencari lembah harta yang ketiga, manusia tersebut tidak akan pernah merasa puas,” jelas Jaih pada kegiatan Training of Trainer (ToT) Pelatihan Fikih Muamalah, Ekonomi, dan Bisnis Syariah, sebagaimana dikutip dari laman resmi Muhammadiyah, Selasa (15/03/2022) siang.

Ketiga, teori qiwam al-hayat. Harta merupakan media untuk melanjutkan keberlangsungan kehidupan. Keberadaan harta merupakan hal penting untuk menjaga kelanggengan kehidupan (baqa’ al-nafs) dan melanjutkan keturunan (baqa’ al-nasl).

Baca Juga:  Abdul Mu’ti Ajak Warga Muhammadiyah Hati-hati Terhadap Gibah Digital Yang Dosanya Berlipat

Bahkan kadang-kadang harta dianggap lebih utama dalam membangun peradaban sebuah bangsa. Harta merupakan sumber keutaamaan (fadha’il), kemuliaan (al-kiram), kebaikan (ihsan), dan kebahagiaan (sa‘adah).

“Harta merupakan media untuk mencapai kemuliaan (alat al-makarim), menolong (‘aun ‘ala al-dahr), menguatkan agama (quwwah ‘ala al-din), menumbuhkan persaudaraan (mu’allafah li al-ikhwan), menciptakaan kegembiraan hidup di dunia (bahjah al-dunya),” terang Jaih sambil mengutip penjelasan Al-Syirazi sebagaimana disampaikan Ali Fikri dalam kitab ”Mu‘amalah Madiyah wa al-Adabiyyah” ketika menafsirkan QS Al-Nisa’ ayat 114 dan Al-Ra‘d ayat 22-23.

Keempat, teori al-wasilah. Tujuan hidup manusia adalah mengabdi kepada Allah (al-‘ubudiyyah), bukan mencari dan mengumpulkan harta (QS Al-Dzariyat: 56 dan Al-Hajj: 77-78).

Tujuan mencari dan mengumpulkan harta untuk melaksanakan perintah Allah, baik dalam bentuk zakat, infaq, wakaf, maupun sedekah.

Aktivitas duniawi seperti bisnis harus mendukung zikrullah melalui aktivitas salat dan ibadah lainnya (QS Al-Nur: 37-38).

Baca Juga:  Buya Cecep: Jika Peradaban Melupakan Masjid, Peradaban Itu Tidak Akan Bertahan

Kelima, teori mas’uliyyah. Pada zaman jahiliah, masyarakat mencari dan mengumpulkan harta dalam rangka membangun kekuatan dan kewenangan (sulthah). Mereka menjadi warga yang superior yang memiliki hak-hak istimewa.

Dalam ajaran Islam, harta merupakan bagian dari nikmat Allah yang harus dipertanggungjawabkan (QS Al-Takatsur: 8). Kemudian cara mendapatkan, pengembangan (investasi), dan menggunakan hartanya pun harus sesuai dengan ketentuan Allah dan rasul-Nya.

Dengan demikian, umat Islam tidak sewenang-wenang dengan menghalalkan segala cara terkait cara mendapatkan, mengembangkan, dan menggunakan harta.

“Kegiatan muamalah maliyyah harus didasarkan pada rasa cinta, kasih-sayang, dan toleran ketika melakukan penawaran, penjualan, pembelian, penagihan, dan pembayaran utang sehingga terhindar dari sengketa, penipuan, penimbunan, durhaka, dan kezaliman,” tulis Jaih.***

PMB UM Bandung