Oleh: Ace Somantri
BANDUNGMU.COM — Sejak pecah perang Zionis Israel dengan militan Hamas Palestina, sudah lebih dari 17.000 jiwa warga meregang nyawa akibat bombardir Zionis Isarel.
Sebanyak 1.400 orang lebih warga Israel meninggal akibat gempuran roket-roket Hamas menembus kota di Tel Aviv dan sekitarnya.
Genosida warga Gaza telah memanggil nurani warga dunia. Hampir semua negara yang memiliki hati nurani dipastikan mengecam tindakan pembantaian tersebut. Terjadi demontrasi di jalanan hingga tumpah ruah ke jalanan ibu kota.
Zionis Israel tidak bergeming protes publik malah terus-menerus membombardir tanpa belas kasihan. Lebih-lebih banyak korban usia anak-anak dan wanita.
Lebih keji dan kejam lagi rudal dan bom ditujukan ke kantong-kantong warga sipil dan bangunan publik sakral, seperti masjid, gereja, sekolah, dan juga rumah sakit menjadi sasaran.
Konsekuensi dari itu semua, akhirnya mengundang keprihatinan kelompok-kelompok militan muslim lainnya yang berada di sekitar perbatasan dengan negara Zionis Israel, seperti Yaman Houti dan Hizbullah di Libanon.
Korban terus berjatuhan dari kedua belah pihak. Hanya yang paling banyak korban ada di pihak Palestina berstatus warga sipil.
Pada akhirnya, sebagai bentuk kepedulian atas nama kemanusiaan banyak negara tetangga untuk membantu kebutuhan pokok logistik.
Pasalnya, saat seluruh Kota Gaza luluh lantak rata dengan tanah secara otomatis pasokan kebutuhan logistik pokok ikut hancur.
Terlebih-lebih kejamnya Zionis Israel selain bombardir infrastruktur termasuk memutus mata rantai pasokan logistik. Energi listrik dan telekomunikasi dimatikan secara brutal.
Benar-benar biadab zionis Israel itu. Selain hal tersebut, pasokan bantuan kemanusiaan dari negara luar pun diblok atau ditahan hingga harus mendapat izin dari otoritas Zionis Israel.
Bendera Palestina sebagai panji kedaulatan terkoyak di negaranya. Namun, berkibar di seluruh dunia hampir semua tanpa batas.
Bentangan dan kibaran bendera Palestina secara psikologis menunjukkan kemenangan.
Kecaman negara-negara dalam sidang pertemuan PBB pun didominasi oleh negara yang mendukung gencatan dan akhir perang serta rekomendasi kemerdekaan penuh untuk Palestina.
PM Zionis Israel Benjamin Netanyahu saat diminta gencatan senjata dan mengakhiri justru malah balik sesumbar menantang masyarakat dunia.
Kesombongan dan keangkuhannya sudah melewati batas. Semoga Allah SWT memberi dia peringatan dan pelajaran yang setimpal dengan kesombongannya.
Tidak dielakkan lagi, keangkuhannya direspons berbagai negara dengan mulai menyebarkan informasi sekaligus merekomendasikan boikot produk-produk Zionis Israel atau produk yang berafiliasi ke Yahudi Zionis Israel tanpa ada catatan.
Hal itu dilakukan karena menurut informasi dan itu regulasi normatif, setiap keuntungan dari produk Yahudi Zionis Israel, ada kewajiban secara tidak langsung untuk menambah anggaran belanja negara.
Termasuk di dalamnya belanja alutsista, seperti senapan api, peluru kendali atau rudal, tank-tank baja, dan jet tempur.
Boikot produk Zionis Israel terus merebak di seluruh negara-negara pro Palestina, termasuk negara Indonesia.
Ratusan produk Zionis Israel yang telah menjadi kebutuhan sehari-hari masyarakat dunia, baik makanan dan minuman maupun peralatan lengkap rumah tangga.
Ratusan produk yang bernilai ratusan hingga ribuan triliun sudah mencengkeram dunia, apalagi di Indonesia, produk zionis Israel sudah menjadi kebutuhan pokok yang sulit lepas.
Berbagai informasi dan opini boikot produk Zionis Yahudi, dalam fakta di lapangan, nyaris tidak ada efek bagi warga Indonesia untuk benar-benar pindah pada produk lain.
Boikot tersebut sangat sulit direalisasikan karena semua produk yang harus diboikot sudah jatuh cinta hingga membutakan. Bahkan masuk bawa alam sadarnya.
Dapat kita bayangkan masyarakat Indonesia dalam penggunaanya sudah belasan tahun hingga puluhan tahun. Wajar saja sangat sulit pindah ke produk lain walaupun tidak kalah berkualitas.
Apalagi seruan boikotnya hanya setengah hati. Hanya sekedar responsif bersifat sesaat dalam kondisi kontemporer.
Hal itu sangat jauh dari mungkin akan berefek besar terhadap stabilitas negatif terhadap industri produk milik Zionis Israel.
MUI mengeluarkan fatwa haram apabila membeli produk Zionis Israel yang terindikasi membantu untuk anggaran belanja perang Zionis Israel.
Kita dapat ambil manfaat untuk mengambil hikmahnya, sekalipun berat untuk berpindah ke produk lain. Minimal ada upaya untuk berpihak pada produk lokal karya-karya anak bangsa Indonesia.
Bahkan menjadi spirit dan motivasi bagi para ilmuwan dan pakar segera ambil peran secara proaktif.
Kesempatan untuk menunjukkan dan memperlihatkan produk-produk hasil riset dan inovasinya tidak kalah hebat dari produk-produk impor atau produk lisensi luar Indonesia.
Momentum keberpihakan terhadap produk lokal pribumi, meningkatkan kepercayaan dan keyakinan diri untuk mampu bangkit mandiri dan berdikari hingga berdaulat secara nyata. Bukan hanya dalam kata-kata, apalagi untuk sekedar hiasan semata.
Kedaulatan kebutuhan pokok akan melahirkan patriotisme total. Memiliki jati diri bangsa dan memiliki harga diri bangsa sehingga bangsa dan negara kita dihormati oleh dunia. Jauh dari hinaan dan bullying dari bangsa lain.
Bisakah bangsa dan negara kita? Siapkah warga masyarakat Indonsia keluar dari ikatan cinta terhadap produk Zionis Israel?
Kembali kepada kepercayaan diri bangsa, keyakinan setiap warga negara dan opitimisme para pemimpin untuk mengubah bangsa menjadi bangsa dan negara yang berdaulat secara permanen.
Bukan sesaat untuk sekedar pamor dan pamer semata. Memang berat dan tidak mudah.
Namun, bukan berarti tidak bisa saat segala gerak tindakan dilakukan penuh optimis bahwa Palestina akan mengalami kebebasan dan merdeka dari jajahan imprealisme zionis Israel.
Secara kasatmata memang sangat berat. Namun, saat ada keyakinan diri penuh optimisme akan mendorong kekuatan dari dalam dengan spirit yang kuat sehingga melahirkan solusi genunine.
Artinya, ketika berniat memboikot produk dalam rangka membantu dan peduli pada sesama.
Hal itu menjadi langkah positif untuk membangkitkan gairah berkreasi dan berinovasi memproduksi dengan hasil karya mandiri untuk bangsa dan negara berdikari.
Siap tidak siap harus mempersiapkan diri manakala pada saat tertentu benar-benar terjadi boikot secara total.
Atau bisa jadi negara bertekad bulat mengurangi produk luar dan keluar dari penjajahan industri luar.
Kesempatan ini menjadi momentum keluar dari cengkeraman bangsa lain. Berusaha bisa dan pasti bisa selama ada niat dan bekerja keras dengan sungguh-sungguh karena banyak jalan menuju Roma.
Apa gunanya ratusan triliun digelontorkan selama bertahun-tahun untuk riset dan inovasi berbagai jenis produk. Masa iya tidak ada yang sempurna satu persen pun dari total hasil riset dan inovasi?
Hal itu hampir dapat dikatakan mustahil jika tidak ada. Namun, andaikan benar di bawah satu persen sangat keterlaluan.
Ada ribuan perguruan tinggi dengan varian program studi multi disiplin ilmu. Sangat tidak mungkin tidak bisa memproduksi macam-macam kebutuhan pokok untuk memenuhi perlengkapan rumah tangga.
Misalnya berbagai macam jenis sabun, sampo, pasta gigi dan sikatnya, serta pembersih berbagai peralatan sandang, pangan, dan papan serta perlengkapan lainnya.
Perdebatan di grup Whatsapp hal ihwal boikot hanya menjadi perdebatan pepesan kosong. Apalagi hanya jadi candaan semata seolah-olah itu bentuk opini dan kebijakan guyonan.
Entah karena diri tidak mampu untuk menjangkau yang lebih jauh atau memang karakter diri yang pemalas dan pengecut.
Sangat disesalkan jika momentum ini dianggap hal biasa-biasa saja dan guyonan karena dianggap reaktif.
Justru ini menjadi kesempatan semua umat muslim bersatu padu membuat rancang bangun mengubah mindset berpikir dari konsumtif bergeser menjadi produktif.
Tidak ada alasan apa pun untuk tidak berkarya. Termasuk alasan klasik tidak punya modal finansial.
Untuk apa dalam ajaran Islam ada konsep infak sedekah, zakat, dan wakaf jika itu hanya dianggap ritual bersifat vertikal semata.
Justru konsep tersebut membuat ruang umat muslim bersatu dengan kekuatan berjamaah memobilisasi dana dari umat untuk dan oleh umat.
Dengan bertahap satu per satu persoalan dapat dipecahkan berdasarkan potensi, kapasitas, dan sumber daya yang dimiliki.
Kekuatan berjamaah sangat dahsyat. Sekalipun tidak banyak dengan bersatu akan kuat. Sebaliknya, jamaah banyak tidak bersatu akan rapuh dan bercerai berai tidak memiliki kekuatan penuh.
Di balik peristiwa genosida Gaza ada ibrah. Di balik fatwa haram dari MUI terkait boikot pun ada ibrah.
Persoalannya apakah masyarakat Indonesia, khususnya umat muslim, bisa merespons cepat untuk bergerak? Atau hanya bingung dan melongo tidak berbuat apa-apa hanya bicara terbata-bata karena tak bisa harus berbuat apa?
Ibrah dari boikot produk luar, mendorong umat untuk bangkit dan mandiri membuat karya-karya nyata.
Andaikan karya tidak sempurna untuk tidak dihina, justru harus terus didorong untuk disempurnakan hingga pantas dan layak digunamanfaatkan.
Saling mendorong, mendukung, dan menunjang satu sama lainnya untuk membangun kekuatan bersama.
Apabila belum mampu mandiri, minimal ada keberpihakan terhadap hasil karya kerabat, tetangga, dan kolega.
Hal itu lebih terhormat selama ada produk yang dicipta daripada harus membeli produk yang justru membantu imprealis dan kolonialis zionis Israel. Kecuali sama sekali benar-benar tidak ada hal itu ada rukhsah keringanan ajaran agama.
Semoga Allah SWT mengampuni dan memaklumi tindakan kita. Semoga Allah SWT memberikan pertolongan kepada warga dan muslim Gaza sekaligus mematikan dengan mati syahid. Amin yaa Rabb. Wallahu’alam.***