BANDUNGMU.COM – Pemikir Islam terkemuka Indonesia, Jalaluddin Rakhmat, lahir di Bandung, 29 Agustus 1949. Kang Jalal, begitulah ia akrab disapa lahir dari keluarga Nahdiyyin (kalangan NU), mengenyam pendidikan di Fakultas Publisistik UNPAD, dan bergabung dengan Muhammadiyah.
Namun, pada akhir hayatnya, ia dikenal ahli tasawuf dan tokoh Syiah di Indonesia karena membidani lahirnya organisasi IJABI pada awal Juli 2000.
Pakar Komunikasi
Di aras akademisi, Kang Jalal dikenal sebagai pakar komunikasi. Buku “Psikologi Komunikasi” yang ditulis tahun 1985 sepulang dari Iowa University, menjadi salah satu karya yang wajib menjadi buku materi pendidikan komunikasi dan psikologi di Indonesia.
Setelah pensiun menjadi dosen, Kang Jalal berkecimpung di dunia politik pada 2013. Ia terpilih menjadi anggota DPR-RI Dapil II periode 2014-2019 lewat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Di DPR, ia menjadi anggota Komisi VIII (agama dan sosial) dan berjuang membela hak-hak penganut agama minoritas di Indonesia.
Kini, Jalaluddin Rakhmat, telah menghadap ke Rahmatullah, Senin 15 Februari 2021 sekitar pukul 15.23 WIB di Rumah Sakit Santoso, Kota Bandung, menyisakan kenangan di mata para tokoh dunia intelektual Indonesia.
Kang Jalal — panggilan akrabnya — pendiri Jamaah Ahlulbait Indonesia (Ijabi) ini, mengembuskan nafas terakhir, setelah berjuang melawan penyakit diabetes yang dideritanya sejak lama dan juga keluhan sesak napas.
Mendalami tasawuf
Dalam berbagai kesempatan, Kang Jalal mengaku dibesarkan dalam keluarga Nahdiyyin (NU), kemudian sempat terlibat dalam aktivitas yang berorientasi pada Muhammadiyah, sebelum mendalami tasawuf dan akhirnya menganut Islam dengan mazhab Syiah.
“Ketika muda, saya memang dibesarkan dari keluarga NU, dan saya pergi ke kota dan bergabung dengan orang Muhammadiyah,” ungkapnya.
Ketika aktif di Muhammadiyah, ia mengikuti gerakan-gerakan “yang saya sebut Islam-siasi, yaitu Islam politik, di mana saya ingin mendirikan syariat Islam di negeri ini”.
Namun demikian, kang Jalal muda mengaku berulangkali kecewa, karena “di berbagai negara Islam, tidak ada yang berhasil mendirikan Syariat Islam”.
Di tengah situasi seperti itulah, ia mengaku takjub ketika terjadi peristiwa penting di Iran pada 1979, yaitu runtuhnya rezim monarki otoriter Raja Shah Pahlavi oleh apa yang disebut belakangan sebagai Revolusi Islam Iran.
“Tiba-tiba saya melihat para ulama di Iran menang. Kok bisa ulama Iran bisa memenangkan sebuah pertarungan poltik dan bisa mendirikan negara Islam? Wah itu menginspirasi saya yang saat itu sudah putus asa,” jelasnya.
Dalam perjalanannya, dia kemudian berangkat ke Iran, persisnya ke kota Qum, untuk belajar tasawuf. “Saya tidak belajar Syiah, saya belajar tasawuf di Qum.”
“Dan ternyata,” ungkapnya dengan mata berbinar, “di kalangan orang-orang Persia, saya menemukan khazanah tasawuf yang sangat kaya. Jadi saya mulailah tertarik tasawuf”.
Menjadi Syiah
Kembali dari Iran, Jalaluddin — yang di masa mudanya sudah membaca karya-karya filosof Baruch Spinoza (1632-1677) dan Friedrich Nietzsche (1844–1900) di perpustakaan negeri peninggalan Belanda — mendirikan yayasan tasawuf.
“Dalam tasawuf, seluruh agama bertemu, bukan hanya seluruh mazhab Islam,” katanya.
Menurutnya, dalam ranah tawasuf atau mistisisme, semua penganut agama akan mengatakan ‘kayaknya kita saling mengenal, kayaknya kita adalah bagian dari keluarga besar, yang menegakkan agama atas dasar cinta’.
Kepada BBC, Jalaluddin menekankan bahwa “saya tidak bermaksud mengajarkan Syiah dalam tasawuf, karena menurut saya, tasawuf itulah yang mempersatukan Sunni dan Syiah,” tegasnya.
“Jadi arah saya dari dulu, kepada persatuan kelompok Sunni dan Syiah,” katanya lagi.
Belakangan, persisnya pada Mei 2011 lalu, Jalaluddin dan beberapa orang mendirikan Majelis Ukhuwah Sunni Syiah Indonesia, Muhsin, pada Mei 2011 lalu, untuk mendekatkan dua mazhab Islam tersebut.
Namun demikian, ketika mempelajari dan mendalami dunia tasawuf itulah, Jalaluddin mengatakan: “Karena Syiah di sini minoritas, saya tentu berusaha mengenalkan Syiah ini, tidak seperti yang mereka tuduhkan”.
Di ujung perjalanannya, Kang Jalal yang pernah mendirikan pusat kajian tasawuf Yayasan Tazkiya Sejati, akhirnya sampai pada satu titik: “Akhirnya secara fikih dan akidah, saya sekarang ini Syiah”.
Selamat jalan, Kang Jalal…!
Khazanah, ngopibareng.id