UMBandung
Sosok

Jejak Karier Soetardjo, Gubernur Pertama Jawa Barat yang Lahir di Blora

×

Jejak Karier Soetardjo, Gubernur Pertama Jawa Barat yang Lahir di Blora

Sebarkan artikel ini
Foto: Wikipedia

BANDUNGMU.COM — Siapakah Gubernur Jawa Barat yang pertama? Ya, dia adalah Soetardjo Kartohadikoesoemo atau juga dikenal sebagai Soetardjo Kartaningprang. Namun, meskipun menjadi Gubernur Jawa Barat, Soetardjo berkantor di Jakarta.

Selain sebagai gubernur, ia juga merupakan tokoh nasional yang menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan penggagas Petisi Soetardjo. Petisi ini diajukan pada 15 Juli 1936 kepada Ratu Wilhelmina dan parlemen Belanda, Staten Generaal, sebagai bentuk ketidakpuasan rakyat terhadap kebijakan politik Gubernur Jenderal De Jonge. Selain itu, Soetardjo juga pernah menjabat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA).

Mengutip Wikipedia, Soetardjo lahir di Desa Kunduran, sebuah wilayah di Kabupaten Blora, Jawa Tengah, pada 22 Oktober 1892. Ayahnya, Kartoredjo, adalah wedana di Bancar, Kabupaten Tuban, sedangkan ibunya bernama Mas Ayu Kartoredjo. Meskipun Soetardjo dikenal sebagai gubernur pertama Jawa Barat, ia lahir dan besar di Kunduran, Blora, Jawa Tengah.

Soetardjo mengawali pendidikan formalnya di Europeesche Lagere School (ELS). Setelah lulus, ia melanjutkan pendidikannya di Opleiding School voor Indlandsche Ambtenaren (OSVIA), sebuah sekolah menengah untuk pamong praja bumiputra di Magelang.

Karier birokrasi Soetardjo dimulai pada 1911 sebagai hulpschriver (pembantu juru tulis) di Rembang. Pada tahun yang sama, ia diangkat menjadi juru tulis jaksa, kemudian mantri kabupaten. Pada 1913, ia menjabat sebagai asisten wedana.

Baca Juga:  Ketua PC IMM Bandung Timur, Siddiq Rahmat Munawir: Jadikan IMM Tempat Belajar!

Pada 1915, Soetardjo diangkat menjadi jaksa di Rembang. Kinerjanya yang baik membawanya ke Batavia untuk melanjutkan pendidikan di Bestuurschool antara 1919 dan 1921. Di sana, ia juga menjadi pemimpin redaksi kalawarta Oud Osviaan. Pada 1919, Soetardjo menulis pamflet yang berisi keluhan tentang diskriminasi yang dialami oleh pamong praja bumiputra.

Setelah menyelesaikan pendidikannya, Soetardjo kembali ke Rembang dan menjabat sebagai wedana. Pada 1929, ketika menjabat sebagai patih di Gresik, ia terlibat dalam pembentukan Perhimpunan Pegawai Bestuur Bumiputra (PPBB) dan terpilih sebagai wakil ketua, sementara Bupati Bandung, RAA Wiranatakusuma V, menjadi ketua.

Dari PPBB, Soetardjo kemudian melanjutkan kariernya di Volksraad. Pada 1931, ia pindah ke Batavia untuk mewakili PPBB dan pemerintahan Jawa Timur. Dalam sidang pertama Volksraad, Soetardjo terpilih sebagai anggota College van Gedelegeerde Volksraad atau Badan Pekerja Dewan Rakyat. PPBB sendiri berhaluan moderat progresif dan termasuk dalam kelompok oposisi terhadap pemerintah.

Pada 1932, Soetardjo mendukung pengajuan petisi Husni Thamrin yang meminta pemerintah mengganti sebutan “inlander” (pribumi) dengan “orang Indonesia” dalam tata hukum, badan-badan di bawahnya, dan dokumen-dokumen resmi pemerintah.

Baca Juga:  Peran Abdul Kahar Muzakkir dalam Perumusan Dasar Negara Indonesia

Memasuki paruh kedua tahun 1930-an, tokoh-tokoh politik seperti Soekarno, Mohammad Hatta, dan Sutan Sjahrir diasingkan ke pelosok Hindia Belanda demi stabilitas politik. Efek depresi ekonomi global juga memicu penghematan besar-besaran oleh pemerintah kolonial, yang berdampak pada kesejahteraan masyarakat.

Soetardjo memprotes kondisi yang merugikan masyarakat, seperti pengurangan gaji, pemecatan, pembatasan kesempatan pendidikan, dan kebijakan pemerintah yang bersifat mencurigai. Kebijakan pemerintah Belanda pada saat itu juga menyebabkan terjadinya Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi pada 5 Februari 1933.

Pada Juli 1936, Soetardjo merancang Petisi Soetardjo, yang isinya adalah permohonan untuk mengadakan musyawarah antara wakil-wakil Indonesia dan Belanda dengan kedudukan dan hak yang sama. Petisi ini akhirnya diputuskan melalui pemungutan suara dan diterima dengan 26 suara setuju serta 20 suara menolak.

Namun, keputusan Kerajaan Belanda baru dikeluarkan dua tahun kemudian, tepatnya pada 16 November 1938, yang menolak Petisi Soetardjo dengan alasan bahwa rakyat Hindia Belanda belum cukup matang untuk mempersiapkan pemerintahan sendiri.

Pada masa pendudukan Jepang pada 1942, Soetardjo memimpin departemen dalam negeri atau Naimubu Sanyo. Ia juga menjadi anggota badan perwakilan bentukan Jepang, Tjhoeo Sangi-in, dan anggota Poetera (Pusat Tenaga Rakyat).

Baca Juga:  Mengenal Jeihan Sukmantoro, Pelukis Indonesia Bergaya Ekspresionisme

Setahun kemudian, pada 10 November 1943, Soetardjo diangkat menjadi residen (syucokan) Jakarta. Dalam posisinya ini, Soetardjo sering berurusan dengan pejabat militer, terutama dalam hal kebutuhan logistik pangan untuk perang. Wilayah keresidenan Jakarta saat itu meliputi Karawang, Cikampek, Sukamandi, Tangerang, dan Purwakarta, yang dikenal sebagai lumbung padi.

Sebagai residen, salah satu kebijakan yang diterapkan Soetardjo adalah politik beras, yang mengatur agar beras tidak dikuasai seluruhnya oleh pedagang Tionghoa. Di wilayah keresidenan Jakarta, distribusi beras diatur lebih ketat demi kepentingan penduduk lokal.

Soetardjo juga mengembalikan tanah partikelir kepada rakyat untuk memaksimalkan produksi pangan. Masalah lahan diselesaikan dengan pembagian sawah dan tanah kering ke setiap desa yang terdaftar, yang kemudian dihitung dan ditetapkan pajaknya. Produksi padi pun diutamakan untuk kebutuhan rakyat dan angkatan perang Jepang.

Dengan bantuan seorang ahli pertanian Jepang dan seorang ahli pertanahan lokal, Soetardjo memprakarsai gerakan menanam padi berlarik dan membersihkan sawah. Upaya ini berhasil memenuhi kebutuhan pangan rakyat Jakarta dan angkatan perang Jepang.***

PMB Uhamka