PMB Uhamka
News

Membangun Indonesia Secara Runtut dan Berkesinambungan

×

Membangun Indonesia Secara Runtut dan Berkesinambungan

Sebarkan artikel ini
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir (muhammadiyah.or.id).***

BANDUNGMU.COM, Yogyakarta — Setiap rancangan kebijakan bahkan roadmap arah bangsa sering ditemukan distorsi pada titik yang sama. Hal tersebut merupakan titik paling krusial yakni lepasnya elaborasi dari pemikiran dasar dalam pembukaan dan batang tubuh serta nilai-nilai yang terkandung dalam UUD 45.

Demikian disampaikan Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir dalam acara FGD Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 yang diselenggarakan Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah di SM Tower and Convention pada Senin (03/07/2023).

Secara tegas Haedar meminta supaya distoris tersebut tidak terjadi lagi. Oleh karena itu, setiap rancangan peraturan, undang-undang, dan roadmap supaya merujuk dan mengelaborasi pembukaan, batang tubuh, dan nilai-nilai yang terkandung di dalam UUD 45.

Guru Besar Sosiologi ini mencontohkan di dalam roadmap pendidikan, yakni agama tidak masuk bahkan terjadi peyoratif tentang agama. Termasuk juga tidak ada elaborasi dari pembukaan, batang tubuh, dan nilai-nilai di dalam UUD 45.

“Di pendidikan bahkan nyaris tidak dijabarkan dari Pasal 31, padahal itu tegas, jelas, dan tidak multitafsir bahwa di situ pendidikan nasional berlandaskan iman, takwa, akhlak mulia, kemudian pembangunan pendidikan berdasarkan nilai agama dan persatuan bangsa,” ungkapnya.

Baca Juga:  Membanggakan! Mahasiswa Psikologi UM Bandung Sabet Juara Satu Lomba Esai Tingkat Nasional

Padahal agama merupakan salah satu nilai dasar yang senantiasa hidup di bangsa Indonesia, selain Pancasila dan kebudayaan luhur bangsa. Bahkan jika tanpa ketiga nilai dasar ini, Indonesia menurut Haedar hanyalah ragat fisik saja yang tidak berjiwa.

Indonesia yang berjiwa

Tiga nilai dasar tersebut menyeimbangkan pembangunan Indonesia, yakni Indonesia yang membangun bukan hanya fisik, melainkan bangsa sebagai jiwa sebagai motor penggerak dari eksistensi Indonesia.

Mengutip Supomo, Haedar menyebut bahwa Indonesia yang dibangun setelah kemerdekaan ini adalah sebuah negara yang bernyawa. Bukan sekedar bangunan fisik, melainkan Indonesia yang punya jiwa. Pandangan tersebut tidak berbeda dengan yang dimiliki oleh Sukarno.

“Kita selalu rancangan-rancangan itu putus di sini, maka muncul rumusan yang discontinue atau malah mengalami fragmentasi dari nilai dasar,” tuturnya seperti bandungmu.com kutip dari laman resmi Muhammadiyah.

Dalam buku “Indonesia Berkemajuan” yang diterbitkan oleh PP Muhammadiyah pada 2019 disebutkan bahwa bangsa ini sekarang mengalami stagnasi. Yakni suatu keadaan pemikiran yang berhenti, tidak ke belakang, sekaligus bergerak ke depan, tetapi terputus dari belakang/masa lalu Indonesia.

Baca Juga:  Sejarah Lahirnya Google yang Bikin Pendirinya Jadi Manusia Rp1.400 Triliun

Selain itu, pemikirannya juga mengalami distorsi, yakni penyimpangan setelah perjumpaan dengan pemikiran-pemikiran baru yang tidak sejalan dengan nilai-nilai dasar yang dipedomani. Salah satunya, dorongan untuk menjadi negara sekuler jika Indonesia ingin mencapai kemajuan.

Pemikiran selanjutnya yang mengganggu adalah pemikiran ekstrem yang tumbuh dalam komponen bangsa ataupun di negara itu sendiri.

Padahal jika merujuk kepada berbagai sumber, pendiri negara ini sepakat pada berbagai hal yang mendasar, pandangan yang dirujuk adalah pemikiran yang moderat-titik tengah.

“Namun, titik tengahnya itu yang eklektik, jadi kalau disebut moderat itu tidak murni di tengah banget dan selalu linier,” imbuh Haedar.

Agama yang memajukan kehidupan bangsa

Tawaran memisahkan antara agama dan negara seakan-akan menemukan momentumnya karena sering terjadi masalah yang disebabkan oleh agama.

Pada sisi lain juga umat beragama mengalami kelemahan dalam memahami agama. Mereka sekaligus tidak mampu memahami konteks sosial atau perkembangan zaman yang dihadapi.

Pada sisi yang kedua tersebut melahirkan praktik beragama yang rigid dan hanya seputar ritus simbolis dan banalitas dalam beragama.

Baca Juga:  Inilah Tiga Makna Isra Mikraj Menurut Haedar Nashir

Cara pandangan terhadap agama yang salah itu menjadikan umat beragama sad back, berkutat dalam perdebatan-perdebatan yang tidak perlu, yang tidak berimbas pada kemajuan.

“Hari gini kok kita masih nginceng-nginceng bulan terus, ketika orang sudah maju. Padahal, matahari, bulan, dan bumi itu eksakta, sekali dia beredar ya dia akan beredar. Dia tidak akan mundur, berbeda dengan jam tangan kita yang masih bisa kita undur-undurkan,” tegasnya.

Terkait dengan kesepakatan waktu, Haedar memandang pentingnya kehadiran Kalender Islam Global untuk menyatukan perbedaan-perbedaan yang sering kali menguras energi umat Islam-membawa umat ini ke medan perdebatan tidak berujung.

Dalam konteks persatuan umat, Muhammadiyah perlu hadir memberikan alternatif melalui pendekatan perangkat keilmuan yang berkembang sekarang.

Pasalnya Indonesia tidak bisa dan tidak boleh disekulerkan sebab antara agama dan umat beragama merupakan entitas yang menyatu dengan keindonesiaan. Agama dan umat beragama ini merupakan jiwa yang menghidupkan ragat besar yang bernama Indonesia.***

PMB Uhamka