Oleh: Ace Somantri
BANDUNGMU.COM — Manusia menghuni bumi, dibatasi oleh pagar dan tembok yang membentuk negara dan bangsa. Ideologi menjadi pilar utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tempat sekelompok manusia hidup.
Melalui deklarasi dan legitimasi publik, negara-negara bermunculan di berbagai benua yang mengelilingi bumi. Daratan dan lautan menjadi pembatas antar benua dan dari sinilah konsep kekuasaan sekelompok manusia muncul.
Alam semesta yang luas menghubungkan daratan dan lautan yang menyatu. Manusia hidup dan diberi kehidupan di atas bumi, baik di darat maupun di laut, sebagai makhluk-Nya yang berpikiran.
Semua ini adalah wujud kasih dan sayang Sang Pencipta tanpa memandang batas suku dan ras karena pada dasarnya kita semua berasal dari asal yang sama.
Selama berjuta-juta tahun, manusia hidup dari generasi ke generasi, dilahirkan di berbagai benua. Daratan dan lautan terbagi di antara benua-benua seperti Eropa, Asia, dan Afrika.
Sekelompok manusia berdiri dengan kekuatan dan kekuasaannya yang timbul dari dinamika sosial. Mereka memperebutkan wilayah dan sering kali berakhir dengan perang.
Sifat kanibalisme dalam manusia terus memicu persaingan kekuatan yang berujung pada terbentuknya negara dan bangsa. Perselisihan dimulai dari kelompok kecil, antar keluarga, suku, kabilah, dan ras, kemudian berkembang menjadi perang saudara yang melibatkan banyak pihak.
Karena dalam diri manusia terdapat sifat kanibalisme, hukum rimba menjadi sumber kekuasaan dalam mendirikan pemerintahan.
Proses ini kemudian mendapatkan legitimasi dari publik yang pada akhirnya menjadikan kelompok manusia tersebut menjadi bangsa dan negara.
Seiring berjalannya waktu, terjadi perubahan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Sesuai dengan tuntutan dan keterpaksaan, bangsa-bangsa muncul di setiap benua.
Seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Irak, Iran, Kuwait, Qatar, Yordania, Oman, dan negara-negara lainnya. Ada juga Indonesia, Cina, Jepang, Malaysia, Singapura, Vietnam, dan banyak lagi di benua Asia.
Ghana, Kamerun, Sudan, dan Libya berada di benua Afrika. Rusia, Jerman, Inggris, Prancis, Polandia, dan Swedia terletak di benua Eropa.
Negara-negara di benua-benua tersebut umumnya mengalami perang, baik sebagai penjajah kolonial maupun sebagai negara yang dijajah. Dengan gagasan revolusi, banyak bangsa dan negara mengalami perubahan dinamis dalam sistem sosial, politik, dan ekonomi.
Bahkan untuk mencapai revolusi, sering kali membutuhkan pengorbanan jiwa, fisik, dan harta. Salah satu negara di Eropa, yaitu Prancis, telah mengalami beberapa revolusi dalam sejarahnya.
Akibat ketidakadilan
Pada dasarnya, revolusi di Prancis terjadi karena protes dan kritik publik terhadap ketidakadilan, penyimpangan, dan pelanggaran sosial yang memengaruhi kekuasaan dalam masyarakat.
Prancis, sebuah negara yang terletak di tengah-tengah benua Eropa, terkenal dalam sejarahnya karena sering melakukan perubahan mendasar dalam sistem negara melalui gerakan revolusi.
Konon kabarnya, Prancis adalah daerah peperangan antar bangsa-bangsa di Eropa. Oleh karena itu, wajar jika negara ini cenderung ingin menguasai negara-negara lain melalui kolonialisasi atau imperialisme untuk memperluas kekuasaannya.
Prinsip sekularisme menjadi ideologi negara sehingga kehidupan masyarakat di Prancis cenderung bebas. Pada abad ke-19, bekas peperangan menghancurkan negara.
Pada dekade ini Prancis membangun negaranya dengan membutuhkan banyak tenaga kerja yang akhirnya berasal dari negara-negara Afrika atau imigran muslim dengan upah rendah.
Sejak saat itu, populasi muslim di Prancis semakin meningkat pesat karena para imigran ini mendirikan berbagai entitas dan komunitas untuk memperkuat jaringan mereka. Sebagai hasilnya, Prancis menjadi salah satu negara di Eropa dengan jumlah populasi muslim yang besar.
Sejak terjadinya resesi ekonomi di Eropa, termasuk di Prancis, masyarakat muslim menjadi sasaran tuduhan sebagai “kambing hitam” oleh penguasa di Prancis. Hal ini menyebabkan sikap intoleransi, diskriminasi terhadap ras dan etnis tertentu, serta penyebaran Islamophobia.
Bahkan sejak Emmanuel Macron menjadi presiden, negara ini menerapkan kebijakan yang melarang dan menolak nilai-nilai keislaman dalam politik karena dianggap bertentangan dengan prinsip sekularisme.
Tentu saja hal tersebut semakin memperkuat stigma Islamophobia di Prancis. Umat muslim diperlakukan secara diskriminatif dan jumlah populasi mereka semakin bertambah dari tahun ke tahun. Hampir mencapai 8,80 persen dari total penduduk negara tersebut.
Tidak gentar
Prancis termasuk dalam kategori negara maju dengan indeks pendidikan dan kesejahteraan yang tinggi di dunia. Namun, budaya kritis di negara ini tetap ada.
Meskipun ada teror dan Islamophobia, bahkan Presiden Emmanuel Macron secara terang-terangan menunjukkan kebenciannya terhadap umat muslim. Namun, umat Islam tidak gentar.
Malam semakin banyak saja masyarakat di negara tersebut yang mempelajari agama Islam. Hal ini tentu saja di sisi lain menjadi berkah dan petunjuk dari-Nya sehingga umat muslim di Prancis semakin kuat.
Pada tahun ini, Prancis dilanda kerusuhan sosial besar akibat berbagai kebijakan negara yang tidak adil dan diskriminatif. Penyebaran kebencian terhadap umat Islam, intoleransi, dan tindakan diskriminasi terhadap ras dan etnis tertentu terus berlanjut.
Baru-baru ini, terjadi penembakan oleh polisi terhadap seorang remaja berusia 17 tahun dengan jarak yang sangat dekat hanya karena melanggar aturan lalu lintas. Penemakan itu memicu aksi protes yang tak henti-hentinya.
Protes ini telah meluas ke berbagai penjuru Prancis. Bahkan menyebabkan kekacauan di berbagai kota dan distrik, termasuk penjarahan toko, pembakaran kendaraan, pembakaran kantor polisi, dan pembakaran fasilitas publik.
Situasi sulit dikendalikan sehingga puluhan ribu polisi dan tentara dikerahkan untuk mengendalikan situasi ini. Meskipun ratusan orang ditangkap dalam waktu singkat, jumlah demonstran terus bertambah dan anarkisme semakin meningkat.
Kembali revolusi?
Prancis saat ini mengalami gejolak sosial besar yang berdampak pada kekacauan di negara ini. Jika situasi ini tidak dapat dikendalikan, bisa saja terjadi revolusi kembali seperti dahulu.
Macron sedang menghadapi situasi penuh ketidakpastian dan mimpi buruk menghantui tidurnya. Resesi ekonomi dapat memicu gelombang protes besar-besaran yang menginginkan terjadinya revolusi.
Macron membayar mahal akibat sikap dan kebijakan negaranya yang diskriminatif dan tidak adil, terutama terhadap umat muslim. Islamophobia telah tersebar dengan tuduhan-tuduhan kejam.
Islam dianggap sebagai ajaran anarkis dan terorisme serta menyalahkan Islam sebagai penyebab dari semua masalah ekonomi.
Padahal, semua yang terjadi disebabkan oleh ketidakbersyukuran dan keingkaran manusia terhadap nikmat yang diberikan-Nya.
Harap diingat, Allah SWT Maha Adil dan Maha Mengetahui. Segala yang terjadi di dunia ini adalah takdir-Nya.
Jika umat-Nya berjuang untuk kebenaran-Nya, yakinlah bahwa pertolongan akan datang. Pertolongan terbaik adalah pertolongan dari Allah SWT. Wallahualam.***