BANDUNGMU.COM — Memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW telah menjadi tradisi yang mengakar dalam kehidupan umat Islam. Setiap tahun, momen ini dirayakan dengan penuh sukacita sebagai ungkapan cinta kepada Rasulullah.
Namun, perayaan ini sering kali menimbulkan perdebatan panjang. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana posisi Maulid Nabi dalam perspektif hukum Islam?
Secara eksplisit, tidak ada ayat Al-Quran maupun Hadis yang memerintahkan umat Islam untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Artinya, dalam hukum Islam, tidak terdapat nash yang secara langsung mengizinkan atau melarang perayaan Maulid.
Oleh karena itu, Maulid Nabi termasuk dalam ranah ijtihādiyyah, yaitu permasalahan yang memerlukan penalaran hukum melalui ijtihad, termasuk metode qiyas atau analogi hukum.
Salah satu argumen yang sering digunakan dalam diskusi tentang Maulid Nabi adalah kisah Abu Lahab, paman Nabi yang dikenal karena penolakannya terhadap Islam. Beberapa riwayat menyebutkan bahwa Abu Lahab mendapat keringanan siksa di neraka setiap hari Senin karena dia merasa senang atas kelahiran Nabi dan membebaskan budaknya, Tsuwaibah, yang turut menyusui Nabi.
Sebagian ulama menggunakan qiyas ini sebagai dasar bahwa jika Abu Lahab yang kafir saja mendapatkan keringanan siksa karena kegembiraannya atas kelahiran Nabi, maka umat Islam tentu lebih layak mendapatkan pahala jika memperingati Maulid Nabi.
Namun, perlu diperhatikan bahwa qiyas ini dianggap lemah dari sisi kekuatan riwayat. Sebagai landasan hukum, kisah ini tidak cukup kuat untuk dijadikan dasar yang sahih.
Meskipun sering dijadikan argumen, riwayat tersebut tidak dapat menjadi pegangan utama dalam menentukan hukum Maulid Nabi. Oleh karena itu, pendekatan yang lebih tepat mungkin melalui ijtihad istishlāhi, yaitu penalaran hukum berdasarkan pertimbangan kemaslahatan umat.
Dalam konteks ini, kemaslahatan yang dapat diperoleh dari peringatan Maulid Nabi adalah manfaat bagi umat Islam, seperti mempererat cinta kepada Nabi dan memperkuat pengamalan ajaran-ajarannya. Ketika tidak ada nash yang memerintahkan atau melarang, hukum Islam memberikan ruang untuk penetapan hukum berdasarkan kemaslahatan.
Namun, kemaslahatan tersebut harus memenuhi kriteria tertentu, seperti menjaga lima hal pokok: agama, jiwa, akal, kehormatan, dan keturunan. Kemaslahatan yang tercapai juga harus lebih dominan, yaitu membawa kebaikan yang lebih besar dan menghindarkan umat dari kerusakan.
Dalam hal ini, Maulid Nabi dapat dianggap sah jika pelaksanaannya diarahkan untuk meningkatkan kualitas keagamaan umat. Perayaan ini dapat diisi dengan kegiatan seperti pengajian, ceramah tentang keteladanan Nabi, atau kegiatan sosial yang bermanfaat bagi masyarakat.
Namun, jika perayaan Maulid justru diwarnai dengan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti kemusyrikan, maksiat, atau pemborosan yang tidak perlu, maka lebih baik peringatan tersebut ditinggalkan untuk menghindari mudarat yang lebih besar.
Pada akhirnya, dalam menghadapi perdebatan seputar Maulid Nabi, umat Islam perlu mencari keseimbangan antara tradisi dan tuntunan syariat. Perayaan ini bisa menjadi sarana yang positif untuk memperkuat iman dan kecintaan kepada Rasulullah, selama dilakukan dengan niat yang tulus dan cara yang benar. Namun, jika perayaan ini hanya menjadi ajang hura-hura tanpa makna spiritual, maka esensi dari peringatan tersebut bisa hilang.
Maulid Nabi seharusnya bukan hanya perayaan seremonial yang dirayakan setiap tahun, melainkan momen refleksi untuk meneladani kehidupan Rasulullah SAW dalam setiap aspek kehidupan. Umat Islam sebaiknya memanfaatkan peringatan ini untuk memperdalam pemahaman terhadap ajaran Islam dan meningkatkan kualitas ibadah, sehingga tujuan utama dari peringatan ini, yaitu kemaslahatan umat, benar-benar tercapai.***