Oleh: Ace Somantri*
BANDUNGMU.COM — Selama beberapa tahun terakhir, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal di Indonesia telah memberikan ruang bagi umat muslim untuk menjalankan konsumsi halal dengan lebih seksama.
Terlepas dari berbagai pandangan yang ada, niat baik dari para inisiator dan penggagas undang-undang tersebut adalah untuk meminimalisir tindakan kriminal terkait barang yang diperjualbelikan untuk dikonsumsi oleh masyarakat, khususnya umat muslim.
Perintah agama Islam sangat jelas dan tegas, demikian pula pemerintah memperjelasnya melalui undang-undang dengan pasal dan ayat yang cukup tegas. Hal ini membuat tidak ada alasan untuk menolak, mengabaikan, atau membiarkan ajaran Islam yang telah diformalkan dalam hukum positif Indonesia. Kehalalan bukan sekadar status halal, melainkan mengandung nilai-nilai thayyib yang distandarisasi dengan nutrisi, gizi, serta aspek kesehatan lainnya untuk menjamin kualitas produk yang dikonsumsi.
Gaya hidup halal menjadi tradisi bergengsi ketika masuk dalam ranah hiburan. Penting untuk mendukungnya sebagai gaya hidup generasi saat ini. Pasalnya, perilaku umum generasi sekarang lebih berorientasi pada performa “lifestyle”.
Namun, diharapkan nilai-nilai substansi halal tidak dibajak dalam praktiknya. Pengawasan dan monitoring masih tergolong lemah sehingga banyak pelaku industri yang tidak tertib, seperti tidak melakukan registrasi ulang sertifikasi halal.
Penting dijelaskan bahwa makanan dan minuman yang dikonsumsi berpengaruh pada proses pembentukan jiwa dan raga manusia. Regenerasi sel tubuh manusia salah satu sumber utamanya berasal dari makanan dan minuman yang dikonsumsi.
Sertifikasi halal merupakan jalan kebaikan dalam menjalankan syariat Islam, baik melalui jalur deklarasi mandiri maupun jalur reguler. Penting dicatat, ada hal yang sangat penting disadari oleh para penggiat halal bahwa mengimplementasikan gaya hidup halal pada masyarakat saat ini memerlukan proses panjang dan komitmen kuat.
Banyak pengalaman yang dirasakan oleh pelaku industri, pelaku usaha, pendamping halal, auditor, dan penyelia halal. Dalam menjalankan syariat halal sesuai dengan peran masing-masing, mereka masih menghadapi banyak hambatan, baik dari segi kesadaran maupun beban material yang harus dipersiapkan.
Pada satu sisi, ada kebahagiaan, tetapi di sisi lain, ada indikasi bahwa proses ini terkesan memberatkan dan kadang-kadang membuat para pihak merasa tidak nyaman. Padahal, dalam konteks ajaran Islam, seharusnya tidak demikian.
Legitimasi pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 33 tentang Jaminan Produk Halal serta peraturan lainnya sudah lebih dari cukup untuk mengikat para pihak. Namun, masih banyak hal yang memerlukan sikap proaktif dari pemerintah dan masyarakat untuk mewujudkan sinergitas antar lembaga negara dan kementerian terkait yang dituangkan dalam nota kesepahaman.
Keterjaminan para konsumen terhadap apa yang mereka konsumsi bukan sekadar syarat semata. Namun, mengandung nilai-nilai teologis yang harus dipertanggungjawabkan di dunia maupun kelak di hari akhir.
Artinya, konsumen membutuhkan ketenteraman saat mengonsumsi makanan dan minuman yang diperjualbelikan. Izin edar yang dikeluarkan pemerintah melalui badan atau lembaga tertentu tidak boleh mengabaikan syarat mutlak bahwa produk tersebut benar-benar telah dijamin kehalalannya.
Keterjaminan ini bukan sekadar klaim halal dari perusahaan atau industri, tetapi harus melibatkan pihak berwenang yang memberikan standarisasi dan sertifikasi halal.
Ketenteraman dan kenyamanan memang tidak sepenuhnya berasal dari keterjaminan kehalalan produk yang dikonsumsi. Namun, setidaknya konsumen tidak perlu meragukan status halal atau haramnya makanan yang mereka makan.
Inilah maksud dari konsumsi halal yang menjamin ketenteraman: minimal, ketika makanan atau minuman hendak dikonsumsi, tidak ada keraguan mengenai status kehalalannya.
Sederhana memang, tetapi konsekuensinya sangat berat jika ternyata ada indikasi makanan yang tidak terjamin kehalalannya dan kemudian dikonsumsi. Hal ini merupakan tindakan gegabah dan mengabaikan syariat wajib halal dalam setiap makanan yang dikonsumsi menurut ajaran Islam.
Keterjaminan halal tidak boleh dianggap remeh atau hal biasa karena memiliki kaitan yang sangat erat dengan praktik keagamaan. Banyak masyarakat muslim yang belum memahami pentingnya konsumsi halal dan proses sertifikasi halal.
Umumnya, mereka cenderung mempercayakan kehalalan kepada pembuat atau penyedia makanan dengan alasan bahwa menelusuri kehalalan secara rinci dan detail memerlukan waktu dan proses yang panjang sehingga dianggap merepotkan. Sikap tidak peduli dan kurang respek ini menyebabkan pandangan dan sikap yang pasif pada masyarakat.
Bahkan, ada yang berpendapat bahwa lebih mudah mengeluarkan sertifikat haram karena jumlah barang haram tidak banyak sehingga relatif mudah diidentifikasi. Namun, apakah benar demikian atau ada filosofi lain di balik pandangan tersebut, hanya Allah yang tahu.
Penting bagi organisasi kemasyarakatan Islam untuk mendakwahkan pentingnya konsumsi halal sebagai bentuk dakwah dan amar makruf nahi munkar. Perintah syariat untuk mengonsumsi yang halal adalah wajib sehingga konsekuensinya membebani pihak-pihak penyedia makanan publik untuk memberikan jaminan halal.
Upaya menjamin ini bertujuan untuk mencegah tindakan nakal dan perbuatan merugikan lainnya. Misalnya pemalsuan atau kebohongan data halal dan penyimpangan lainnya yang tidak dapat ditolerir secara syariat.
Oleh karena itu, pentingnya kehadiran regulasi pemerintah yang mengikat tidak hanya menunjukkan perhatian dan tanggung jawab negara terhadap rakyatnya. Namun, juga memiliki nilai penting dalam membangun kesadaran kolektif yang bersifat memaksa dalam kebaikan yang benar.