BANDUNGMU.COM, Yogyakarta — Wakil Ketua Majelis Tabligh dan Ketarjihan Pimpinan Pusat Aisyiyah Adib Sofia mengungkapkan pandangannya terkait perjuangan emansipasi perempuan yang masih menghadapi tantangan dalam ranah domestik. Ia menyoroti adanya kecenderungan baru yang mencoba membatasi peran perempuan hanya di lingkup rumah tangga.
“Kalau dulu kita memperjuangkan perempuan keluar dari sumur, dapur, dan kasur, sekarang malah muncul wacana yang mengglorifikasi perempuan hanya dalam ranah rumah tangga,” ujar Adib dalam Lensamu Podcast pada Jumat (27/12/2024). Pernyataan ini menjadi pengingat akan pentingnya menjaga semangat pemberdayaan perempuan yang telah diperjuangkan oleh organisasi seperti Muhammadiyah dan Aisyiyah.
Adib juga mengkritisi fenomena kampanye pernikahan muda yang dilakukan sejumlah influencer muda di media sosial. Ia menilai kampanye tersebut tidak sejalan dengan visi pemberdayaan perempuan. “Banyak narasi di media sosial yang secara tidak langsung mendorong perempuan kembali ke ranah domestik, padahal ajaran Islam memberikan ruang yang luas untuk kiprah perempuan,” ungkapnya.
Ia menegaskan bahwa ajaran Islam tidak membatasi perempuan hanya pada urusan rumah tangga. Ayat-ayat Al-Quran yang mendorong sedekah, pemberdayaan masyarakat, dan amar makruf nahi mungkar berlaku untuk semua, baik laki-laki maupun perempuan. Menurut Adib, kiprah sosial merupakan hak sekaligus kewajiban bersama yang harus terus diperjuangkan oleh umat Islam.
Dalam diskusi tersebut, Adib juga menekankan pentingnya prinsip kesalingan antara laki-laki dan perempuan, terutama dalam rumah tangga. Ia mencontohkan bentuk kerja sama dengan suaminya dalam mendukung kegiatan dakwah. “Saya yang berbicara di depan, suami saya yang menyiapkan data dan presentasi. Ini bentuk kesalingan yang perlu diterapkan dalam keluarga,” jelasnya. Kesalingan ini, menurut Adib, adalah nilai utama yang diajarkan oleh Muhammadiyah dan Aisyiyah.
Adib juga membahas isu feminisme yang kerap disalahpahami. Ia menyebut bahwa meskipun ada perbedaan konsep, banyak nilai feminisme yang sejalan dengan ajaran Islam. “Islam memiliki prinsip yang lebih maju dan komprehensif dalam memandang peran perempuan,” tegasnya. Prinsip ini, menurut Adib, harus menjadi landasan dalam memperjuangkan kesetaraan gender yang lebih luas.
Selain itu, Adib menyinggung tradisi Mother’s Day yang dirayakan di berbagai negara. Ia menjelaskan bahwa meskipun perayaan ini bertujuan menghormati ibu, ada perbedaan budaya yang signifikan dalam cara memperingatinya. Di negara-negara Barat, misalnya, tradisi ini sering kali bersifat simbolis dengan hadiah atau kartu ucapan, yang terkadang dikaitkan dengan budaya konsumerisme.
Sebaliknya, di masyarakat muslim, khususnya di Indonesia, penghormatan terhadap ibu diwujudkan melalui tindakan sehari-hari yang berkelanjutan. Islam, menurut Adib, menekankan penghormatan kepada ibu tidak terbatas pada hari tertentu, melainkan sepanjang waktu. “Islam tidak melarang perayaan seperti Mother’s Day, tetapi umat harus menghindari formalitas semata dan menjadikannya momentum untuk menerapkan nilai-nilai Islam, membawa masyarakat dari kegelapan menuju cahaya,” tutup Adib.***