Oleh: Ace Somantri*
BANDUNGMU.COM — Baru saja suhu politik dari pemilu presiden mulai mereda, kini persiapan kembali dipanaskan untuk menyambut pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak di seluruh Indonesia.
Dalam pilkada ini, perhatian publik banyak tertuju pada wilayah-wilayah strategis seperti ibu kota Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Wilayah-wilayah ini dikenal dengan populasi penduduk yang padat, sehingga dianggap sebagai indikator penting dalam perhitungan politik ke depan.
Ada hal menarik dalam pilkada serentak kali ini: semakin banyak artis yang turut serta sebagai kandidat calon pemimpin daerah. Pada periode sebelumnya, jumlah artis yang terjun ke dunia politik masih relatif sedikit.
Pada pilkada sebelumnya dan pemilu legislatif terbaru para artis terbukti berhasil meraih suara yang signifikan. Oleh karena itu, pilkada serentak kali ini dimanfaatkan oleh para elite politik untuk mencalonkan artis sebagai kandidat kepala atau wakil kepala daerah, baik di tingkat provinsi, kota, maupun kabupaten.
Popularitas atau keterkenalan figur dianggap sangat penting untuk meraup suara dan memenangkan kontestasi pemilukada langsung. Namun, fenomena ini cukup miris dan ironis bagi demokrasi di Indonesia.
Meski diklaim semakin baik, kenyataannya justru semakin memprihatinkan. Dalam ruang politik kekuasaan, setiap figur publik, baik sebagai pemeran utama, pembantu, maupun figuran, memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi.
Pertanyaannya, mengapa pemilih lebih cenderung memilih artis dibandingkan politisi, padahal dinamika politik seharusnya lebih dikuasai oleh politisi?
Fakta menunjukkan bahwa banyak politisi kawakan gagal dalam pemilu legislatif tahun ini, kalah bersaing dengan artis, baik penyanyi, pesinetron, maupun komedian, yang berhasil meraih kursi di parlemen, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Cerdas menilai
Pemilu kepala daerah tahun ini bisa disebut sebagai tahun politik bagi para artis. Setelah cukup banyak artis yang berhasil mendapatkan kursi di legislatif, tidak menutup kemungkinan bahwa dalam pilkada kali ini, banyak di antara mereka yang akan menang lagi.
Semoga rakyat dapat menilai kinerja mereka dengan baik: apakah mereka hanya sekadar menjadi pemanis ruangan di kursi parlemen dengan berbagai tunjangan atau benar-benar berperan aktif mewakili rakyat yang telah memilih mereka.
Pelantikan anggota dewan di kota dan kabupaten telah berlangsung; selamat kepada mereka yang terpilih dan dilantik. Namun, di balik senyum bahagia dan kegembiraan itu, ada yang harus diingat: setumpuk janji kepada para pemilih dan amanah yang menunggu untuk segera ditunaikan. Berbagai fasilitas telah dianggarkan oleh negara, baik untuk kebutuhan kinerja kantor maupun untuk perjalanan dinas lainnya.
Figur artis yang sangat populer dan terkenal, dengan modal fisik yang rupawan dan menawan, sering kali mampu memikat masyarakat untuk memilih mereka. Bagi sebagian masyarakat, hal terpenting adalah mereka mengenal sosok artis tersebut dan tampak menarik di mata mereka, tanpa terlalu memedulikan sikap dan perilaku sebenarnya.
Ini cukup mengherankan karena para pemilih memilih artis yang kompetensinya lebih banyak di dunia hiburan. Sementara itu, mengurus negara memerlukan fokus pada pembuatan kebijakan untuk melayani rakyat. Apakah para artis ini mampu berkontribusi dalam merumuskan kebijakan negara yang sangat kompleks dan rumit, padahal rekam jejak mereka di bidang tersebut masih jauh dari harapan?
Selama ini, harapan agar mereka benar-benar melayani rakyat terasa seperti “jauh panggang dari api.” Yang sering terjadi justru banyak anggota parlemen lebih fokus melayani kepentingan big boss partainya agar tidak diganti di tengah jalan atau melalui pergantian antar waktu.
Demikian pula, para pejabat eksekutif lebih banyak berusaha menyenangkan “sang tuan” yang berada di singgasana kekuasaan. Bahkan, jika perlu, siapa pun yang dianggap mengganggu akan ditindak tanpa ampun.
Tahun ini bisa disebut sebagai “tahun politik artis.” Namun, ke manakah para aktivis gerakan sosial dan politik dari berbagai organisasi sosial dan kepemudaan?
Meredupnya gerakan kampus
Tampaknya, denyut gerakan mereka pasca-reformasi semakin menurun, bahkan nyaris lenyap ditelan bumi. Demikian pula, organisasi kemahasiswaan eksternal kampus semakin meredup dan menghilang entah ke mana.
Mereka hanya sesekali muncul ketika ada dorongan politik. Selebihnya mereka kembali fokus mengurus sistem kredit semester yang berantakan karena terlalu banyak menghabiskan waktu di TikTok, Instagram, YouTube, dan media sosial lainnya, hingga akhirnya tersadar setelah kuota internet habis.
Gema “darurat demokrasi” yang pernah terdengar semoga tidak hanya menjadi isu sesaat, melainkan menjadi panggilan untuk terus mengawal agar tata kelola negara benar-benar dijalankan sesuai konstitusi. Para akademisi juga diharapkan tidak hanya berhenti pada pernyataan tertulis, tetapi terus terlibat secara aktif dalam mengawal dan mengawasi.
Dana miliaran rupiah yang digulirkan untuk riset dan pengabdian di perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, seharusnya lebih diarahkan untuk mengontrol elit-elit negara yang telah menerima amanah dari rakyat.