Oleh: Ibn Ghifarie*
BANDUNGMU.COM – Menyambut bulan Rajab, masyarakat muslim Sunda sering kali merayakan tradisi Rajaban dengan berbagai macam bentuk kegiatan.
Beberapa di antaranya adalah berziarah ke makam wali, orang tua, atau ulama penyebar Islam, berkumpul di masjid atau musala untuk bersyukur, mengadakan zikir bersama di masjid atau pondok pesantren, hingga melaksanakan saum selama satu minggu.
Tradisi Rajaban
Di daerah Karangtawang, Kuningan, peringatan Isra Mikraj (27 Rajab) menjadi momen penting untuk berkumpul bersama di Masjid Nurul Islam. Begitu pula di Cirebon, masyarakat melaksanakan upacara dan ziarah ke makam Pangeran Panjunan dan Pangeran Kejaksan di Plangon, yang biasanya dihadiri oleh keturunan kedua Pangeran tersebut.
Selain itu, jamaah Tarekat Syahadatain di Cirebon juga rutin mengadakan zikir bersama setiap bulan Rajab di Masjid Asy-Syahadatain, Desa Panguragan, Kecamatan Panguragan, serta menggelar pengajian di Pondok Bunten Pesantren. Kitab Qissatulmi’raj menjadi bacaan rutin bagi para kyai muda, dan pada akhir malam, hidangan ambeng (nasi dengan lauk pauk lengkap) disajikan untuk peserta pengajian.
Pesan Utama Isra Mi’raj
Bambang Q-Anees, dosen Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung, menegaskan bahwa Isra Mi’raj adalah momentum yang tepat untuk meningkatkan pelayanan kepada Tuhan dengan terus berbuat kebaikan dan memberikan kebahagiaan kepada sesama manusia.
Salat, yang merupakan oleh-oleh dari peristiwa Isra Mikraj, menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Nabi Muhammad bersabda, “Salat adalah mi’raj bagi orang beriman!”
Melalui salat, seseorang akan melewati jalan-jalan kehidupan yang gelap, karena dalam salat terdapat doa dan perjanjian untuk melayani Tuhan. “Iyyakana’budu wa iyyakanasta’īn…” (Kami hanya akan melayani-Mu, dan kepada-Mu kami memohon petunjuk kehidupan yang lurus).
Kiai Muhammad Zuhri, seorang sufi dari Pati, Jawa Tengah, menjelaskan bahwa kalimat iyyaka merupakan perjanjian atau rayuan kepada Tuhan. Saat itu, kita seolah sedang merayu Tuhan, “Ya Tuhan, kabulkanlah permintaanku, bahagiakanlah aku, dan aku akan melayani-Mu sepenuh hati!”
Melayani Tuhan berarti memberikan kebahagiaan kepada sesama manusia. Oleh karena itu, melalui aktivitas pelayanan Tuhan, kehidupan yang penuh kasih sayang akan terwujud.
Seorang guru akan mengajar dengan sabar dan sepenuh hati, membangkitkan potensi siswa meskipun gajinya kecil dan siswa yang dia hadapi bermasalah. Semua itu dilakukan demi melayani Tuhan.
Begitu pula dengan pejabat publik. Mereka harus menetapkan dan menjalankan kebijakan dengan penuh keikhlasan dan tanpa adanya pungutan liar. Bagi mereka, pekerjaan tersebut adalah bentuk pelayanan kepada Tuhan dan senyum warga adalah refleksi dari kepuasan Tuhan atas pelayanan yang diberikan.
Anggota dewan juga harus mewakili rakyat dengan tulus, bukan sekadar mengejar kesejahteraan diri karena mereka sadar bahwa setiap tindakan adalah bentuk pelayanan kepada Tuhan. Presiden pun seharusnya menggunakan kekuasaannya untuk melayani Tuhan, bukan karena tekanan atau kepentingan lainnya.
Semua itu tercermin dalam “salat yang berakhlak”, yakni salat yang disertai dengan akhlak yang membawa kebahagiaan bagi sesama (Radea Juli A Hambali [editor], 2010:40-42).
Sejatinya, Isra Mikraj Nabi Muhammad merupakan titik awal bagi lahirnya peradaban Islam yang berbasis pada keimanan yang kokoh (istikamah). Perintah salat harus menjadi tanda bahwa peradaban Rasulullah dibangun untuk menegakkan keadilan dan kemerdekaan, sesuai dengan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan.
Dengan demikian, Isra Mikraj harus menjadi momen refleksi dan evaluasi, sambil tetap menjaga ajaran para leluhur sebagai khazanah lokal yang tidak dapat diganggu gugat.
*Pegiat Kajian Agama dan Media di Bandung