OLEH: ACE SOMANTRI — Dosen Universitas Muhammadiyah Bandung
BANDUNGMU.COM — Jauh sepengetahuan yang dipahami, siapa pun orang yang hidup di dunia, sudah pasti ada harapan dan keinginan hidup lebih baik dari yang ada.
Terlebih ketika orang tersebut lahir dari perkampungan, jauh dari kehidupan kota yang semua kebutuhan relatif serba ada.
Namun, semua yang dibutuhkan harus dibeli dengan uang. Lahir di kampuang, tumbuh besar menjadi remaja, ternyata bukan hanya harapan dan keinginan, melainkan ada tuntutan untuk dipenuhi secara terpaksa.
Selain pemenuhan sandang dan pangan, tuntutan kebutuhan pendidikan menjadi kunci masa depan.
Semua orang berpikir sama, hal itu sudah menjadi dogma dan doktrin pada setiap orang, bagi siapa pun yang mau mengubah nasib harus berpendidikan.
Soal pendidikan
Saat itu teringat kata-kata orang tua, apabila punya keinginan lebih baik harus mau sekolah dan berpendidikan tinggi.
Insyaallah kalau berpendidikan tinggi, banyak orang yang membutuhkan ilmu dan di situlah akan ada rezeki.
Kira-kira itu kalimat yang pernah disampaikan oleh orang tua pada umumnya. Sebuah ungkapan untuk memotivasi.
Sekolah, istilah yang sudah familiar di telinga semua orang, sejak zaman dahulu hingga saat ini. Walaupun pernah mendengar, 35 tahun yang lalu di beberapa tempat perkampungan, sekolah tinggi itu salah satu pilihan untuk menggapai harapan hidup lebih baik.
Selebihnya bahkan lebih banyak orang-orang memilih kerja menjadi buruh lepas dan merantau ke kota. Hanya sedikit yang sekolah lanjut hingga sekolah tinggi.
Dari sekian banyak orang memilih pilihanya, saat itu dalam kondisi ekonomi jauh dari bawah garis kemiskinan, motivasi dan spirit ingin mengubah nasib lebih sangat kencang.
Sangat yakin banyak orang mengalami hal yang sama. Hal yang membedakan pilihan dan konsistensinya (istikamah) yakni dalam menjalankan proses untuk mencapai tujuan.
Sekolah tetap pilihan yang berharga dan bernilai, saat yang bersamaan ada pilihan bagi para orang tua untuk anak-anaknya yakni pesantren.
Hal itu menjadi kebanggan bagi orang tua ketika anaknya studi di pondok pesantren. Harapannya tentu saja suatu saat setelah kembali, mereka menjadi ustaz, ajengan, atau kiai yang memiliki komunitas asuhan mengaji.
Bisa juga berharap bisa memiliki pondok pesantren secara mandiri, sekalipun itu sangat berat.
Pilihan keumuman orang, bagi ekonomi keluarga pas-pasan, yaitu milih kerja daripada sekolah. Dengan kerja dan mendapatkan uang, selain cepat memenuhi kebutuhan dirinya, juga bisa membantu ekonomi keluarga.
Betul memang, bagi yang kerja saat itu hingga saat ini, sudah dipastikan langsung mendapatkan uang. Bisa beli ini dan itu, enggak menunggu lama bertahun-tahun.
Hanya saja sependek pengetahun yang dipahami, ketika kerja dan terus kerja tanpa disertai upgrade wawasan global, ujungnya hanya tenaga semata. Pada usia tertentu dan tergolong masih muda sudah tidak dipakai oleh perusahaan.
Disrupsi
Belum lagi ditambah disrupsi yang mengakibatkan pengurangan tenaga kerja. Apalagi perusahaan itu bangkrut alias gulung tikar.
Apa yang terjadi? Tentu saja pengangguran meledak. Aakhirnya kembali generasi berikutnya sulit untuk mendapatkan akses pendidkan, kesehatan, dan kesejahteraan layak karena orang tuanya kena PHK dan minim keterampilan.
Hukum alam rimba berlaku, yakni siapa yang kuat dia dapat. Saat ini berbeda jauh dengan 30 tahun yang lalu soal kerja bisa cepat.
Saat ini spekulasi sekali meskipun dia lulusan sekolah tinggi. Tidak berpengaruh apa-apa, kecuali kemampuan skill individu.
Itu semua karena ada perubahan situasi dan kondisi yang tidak mampu diprediksi ketika masa lalu. Semua itu terjadi hari ini.
Usaha atau wirausaha menjadi salah satu pilihan favorit generasi milenial, 20 tahun yang lalu pilihanya dunia kerja, khususnya pegawai negeri sipil.
Berbondong-bondong melamar kerja dan seleksi PNS atau ASN. Bahkan saat ini juga tercatat masih banyak peminat ASN karena tergiur dengan keterjamain hidup hingga masa tua.
Padahal usaha atau wirausaha lebih menjanjikan ketimbang pekerja. Persoalannya untuk usaha membutuhkan talenta yang siap mental, pendapatan ditentukan BI sendiri.
Sudah pasti, awal dalam dunia usaha sudah diajarkan hidup pahit, kerugian demi kerugian materi dan imateri akan mendidik jiwa dan karakter tangguh.
Pengalaman lebih diutamakan dalam dunia usaha. Kecepatan membaca peluang terus dipertajam hingga mampu menembus tembok dinding setebal apa pun. Bahkan sejauh jarak yang harus ditempuh harus siap menjemputnya.
Wirausahawan lebih memiliki karakteristik merdeka daripada pekerja. Daya juangnya lebih terlatih.
Kemudian dalam memanfaatkan waktu juga lebih disiplin. Hal yang paling penting, yakni dengan usaha sangat memungkinkan banyak memberi daripada menerima.
Semata-mata pengabdian
Sekolah, kerja, dan usaha sama-sama merupakan bentuk pengabdian pada sesama tanpa ada sekat serta batas area.
Nilai manfaat sebagai indikator utama ketercapaian, bukan hanya ketercapaian portofolio adminstratif, melainkan harus ada ketercapaian substantif yang dapat dirasakan oleh masyarakat langsung.
Diakui atau tidak, pendekatan sosiologis bahwa semua orang berusaha untuk sekolah karena sekolah representasi fasilitasi peningkatan indeks pertumbuhan manusia dalam berbagai bidang.
Masa lalu untuk sekolah, pesantren, dan kerja menjadi sebuah pilihan. Saat ini bukan lagi pilihan, melainkan tahapan untuk mencapai sesuatu yang diharapkan.
Ketika kita ingin merebut dunia, maka harus dengan ilmu. Kemudian untuk merebut akhirat pun harus dengan ilmu. Kalau merebut keduanya? Sama, harus dengan ilmu juga.***