BANDUNGMU.COM, Bandung — Dalam kajian Gerakan Subuh Mengaji yang digelar pada Senin (02/06/2025), Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Alimatul Qibtiyah mengajak masyarakat untuk menghapus stigma “suami takut istri” yang masih sering dijadikan bahan guyonan.
Menurutnya, anggapan tersebut mencerminkan budaya patriarki yang masih mengakar kuat di tengah-tengah masyarakat.
Dalam paparannya, Alimatul menegaskan bahwa komunikasi terbuka antara suami dan istri, termasuk saling meminta izin atau berbagi informasi, bukanlah bentuk ketakutan, melainkan wujud penghargaan dan cinta yang mendalam.
Ia menilai anggapan bahwa suami harus dominan dan tidak perlu berdiskusi dengan istri merupakan bentuk ketimpangan pandangan yang harus diluruskan.
“Ketika suami berkonsultasi dengan istri, itu sering dijadikan olok-olok. Namun, sebaliknya, istri minta izin dianggap biasa. Ini jelas ketidakseimbangan persepsi,” ujar Alimatul.
Padahal, dalam Islam, lanjutnya, akhlak mulia antara pasangan suami istri justru ditunjukkan melalui sikap saling menghargai, bukan saling menakut-nakuti.
Lebih jauh, ia menjelaskan bahwa tujuan pernikahan dalam Islam adalah membangun keluarga sakinah, mawaddah, dan rahmah—yang berakar pada ketenangan, cinta kasih, dan kebaikan.
Untuk mencapai itu, komunikasi asertif sangat penting. Ia menyarankan agar pasangan saling menyampaikan kebutuhan secara terbuka, bukan hanya mengandalkan isyarat atau komunikasi batin.
Dalam kajian tersebut, Alimatul juga menyinggung persoalan sosial yang mengkhawatirkan, seperti tingginya angka gugat cerai yang didominasi oleh istri.
Data menunjukkan bahwa kasus gugat cerai tiga kali lipat lebih banyak daripada cerai talak, dengan penyebab utama meliputi konflik berkepanjangan, persoalan ekonomi, dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Dampak medsos
Ia juga menyoroti dampak negatif media sosial dalam hubungan rumah tangga. Berdasarkan survei di Amerika, sekitar 80 persen perceraian dipengaruhi oleh media sosial, baik karena pertengkaran di kolom komentar maupun munculnya kembali hubungan dengan mantan (CLBK).
Oleh karena itu, menjaga kedekatan emosi dan mengenali “bahan bakar cinta” pasangan, seperti waktu berkualitas atau kata-kata dukungan, menjadi hal yang sangat penting.
Kajian ini ditutup dengan diskusi interaktif, di mana para peserta, seperti Pak Yana, mendorong adanya sosialisasi untuk mengubah pola pikir patriarkal. Menanggapi hal itu, Alimatul menegaskan bahwa keadilan dalam rumah tangga harus dimulai dari pola pikir yang setara.
“Kita harus ubah istilah suami takut istri menjadi suami menghargai istri. Begitu juga sebaliknya,” tegasnya. Ia menutup dengan mengutip hadis bahwa mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya terhadap pasangannya.***