BERAMAL saleh sejatinya dilakukan manusia setiap saat, apapun bentuknya. Sedekah, membantu fakir miskin, membantu korban musibah/bencana, meningkatkan ibadah kepada Allah, dan bentuk-bentuk amal saleh yang lainnya. Satu hal yang harus jadi pegangan, amal tersebut akan lebih baik jika didasari oleh keikhlassan hati.
Amal yang sudah kita lakukan akan rusak dan tidak bernilai di sisi Allah, apabila dibaluri rasa riya. Amal itu juga akan hangus apabila kita menyebut-nyebutnya di depan orang lain. Kebaikannya itu juga akan rusak bila dipamerkan supaya ditanggapi orang lain.
Orang-orang yang suka pamer itu misalnya kita jumpai di media sosial. Betap banyak orang yang membantu korban bencana, tapi malah berselfie ria dan bertingkah centil. Dengan maksud supaya diketahui bahwa dirinya sudah beramal dan membantu orang yang kesusahan.
Padahal, Allah melarang memamerkan amal baik dan menyakiti orang yang menerimanya. Bila Allah melarang, berarti amal kebaikan itu akan tidak berguna.
Allah berfirman, “Hai orang-orang beriman! Janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan ia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, kemudian dia menjadi bersih (tidak lagi bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang dia usahakan dan Allah tidak memberi petunjuk bagi orang-orang kafir.” (QS Al-Baqarah: 264).
Mereka beramal saleh, tapi sebagian niatnya hanya untuk pamer dan riya. Apapun jenis dan bentuk amal salehnya, selalu diposting di akun media sosial pribadinya. Dirinya mengharapkan komentar dan pujian dari rekan-rekannya yang lain. Akan senang hatinya jika banyak yang mengomentari amalan dirinya.
Amalan-amalan ibadah seperti itu, sejatinya sudah rusak dan tidak utuh lagi bentuknya karena terjangkiti virus berbahaya, yaitu riya dan pamer. Akankah kita rela amal saleh dan ibadah kita rusak hanya karena kita tidak bisa menahan diri untuk pamer kepada orang lain? Tentu, kita tidak menginginkannya.
Di dalam Hadis Qudsi, Allah menegaskan, “Kelak pada hari kiamat akan didatangkan beberapa buku yang telah disegel, lalu dihadapkan kepada Allah Swt. (Pada waktu itu) Allah berfirman, ‘Buanglah ini semuanya! Para Malaikat berkata, ‘Demi kekuasaan Engkau, kami tidak melihat di dalamnya melainkan yang baik-baik saja.’ Selanjutnya Allah berfirman, ‘Sesungguhnya isinya ini dilakukan bukan karena-Ku, dan Aku sesunggunya tidak akan menerima, kecuali apa-apa yang dilaksanakan karena mencari keridhaan-Ku.’” (HQR Bazzar dan Thabrani, dengan dua sanad, atau di antara para rawinya termasuk perawi al-Jami’ush shahih).
Allah tidak akan menerima amal ibadah seorang hamba yang dilakukan bukan karena-Nya. Apalagi jika dilakukan dengan maksud pamer di hadapan orang-orang. Allah mengingatkan kepada hamba-hamba-Nya. Jika buku amal baiknya ingin diterima Allah, penuhilah dengan ikhlas karena-Nya. Bila tidak, Allah tidak akan mau menerimanya.
Bila amal ibadah/saleh yang sudah terkontaminasi oleh virus-virus berbahaya seperti itu, layaknya pakaian kotor di keranjang. Ia berbau dan tidak layak dipakai sama sekali. Dan, tentulah Allah tidak akan pernah menerima amalan hamba-Nya yang seperti itu.
Amal ibadah yang dilakukan langsung kepada Allah atau kepada sesama manusia, hakikatnya harus didasari keikhlasan, tanpa adanya pamer. Allah yang sudah memerintahkan ikhlas kepada kita, “Katakanlah wahai Muhammad! Hanya kepada Allah sajalah aku beribadah dengan tulus ikhlas.” (QS az-Zumar: 14).
Dalam ayat yang lain juga ditegaskan, “Kecuali mereka yang tobat dan berlaku baik dan berpegang teguh pada agama Allah, dan melaksanakan agama mereka dengan ikhlas karena Allah. Mereka itulah bersama-sama kaum mukmin.” (QS an-Nisa: 146).
Amal yang baik—misalnya sedekah—akan menjadi sebuah amalan yang sangat mulia di sisi Allah apabila dilakukan dengan mengendap-ngendap tanpa diketahui orang. Bahkan, tangan kanan bersedekah, tangan kiri yang di sebelahnya pun tidak boleh tahu.
Bukankah akan menjadi kesia-siaan yang sempurna, jika semua amal yang susah payah kita laksanakan, harus berujung di keranjang sampah amal, hanya karena tidak didasari keikhlassan.
Ketika hari kiamat yang dahsyat terjadi, ada tujuh golongan yang akan mendapat perlindungan dari Allah. Satu di antaranya adalah orang-orang yang bersedekah dengan tangan kanannya sedangkan tangan kirinya tidak mengetahui.
Jika bersedekah atau membantu orang lain dengan harta yang kita punya, bukan seberapa besar bantuan tersebut, tapi seberapa ikhlas kita melakukannya. Akan menjadi sebuah keberhasilan hati, bila amal ibadah atau sedekah yang kita berikan, terbilang besar disertai keikhlasan pelakukanya, tanpa sedikitpun riya.
Mengenai amal yang terjangkiti virus riya ini, mari tengok pendapatnya Hujjatul Islam Imam al-Ghazali (Ali Usman dkk., 1975).
Beliau mengemukakan bahwa para ulama berselisih pendapat tentang hukum amalan yang tidak ikhlas karena Allah yang bercampur dengan riya atau karena hawa nafsu ini. Apakah ada pahalanya ataukah akan mendapatkan hukuman, atau tidak mendapatkan hasil apa-apa.
Para ulama secara bulat menegaskan bahwa amalan yang dilakukan kerena riya semata, akan mendapatkan hukuman. Malahan, riya merupakan penyebab kemurkaan dan siksaan. Adapun amalan yang dilakukan dengan ikhlas karena Allah semata akan menjadi sebab turunnya pahala dari Allah.
Amalan yang kita kerjakan, menjadi sebuah indikasi keimanan dan kepedulian seseorang kepada Allah dan sesamanya. Apabila dengan tujuan semata-mata bertaqarrub (mendekatkan diri kepada Allah), amalan yang dilaksanakan akan dibalas Allah.
Hal ini tergambar dalam firman Allah, “Barangsiapa yang beramal kebajikan sebesar debu, pahala kebajikannya itulah yang akan dilihatnya. Dan barangsiapa yang beramal kejahatan sebesar debu, maka siksa kejahatannya itulah yang akan dilihatnya kelak.” (QS Al-Zalzalah: 7-8).
Semoga kita menjadi hamba yang senantiasa beramal saleh dan beribadah kepada Allah dengan sebaik-baiknya hati, yaitu yang dilandasi keikhlassan. Wallahu a’lam.