Opini

Insentif Guru Ngaji, Ekonomi Bermoral di Kabupaten Bandung

Foto istimewa.

Oleh: H Idat Mustari*

Ketika Pemerintah Kabupaten Bandung meluncurkan Peraturan Bupati tentang insentif guru ngaji, sebagian orang menganggapnya kebijakan simbolis.

Namun, jika dilihat lebih jauh, program ini menyimpan makna strategis, baik dari perspektif ekonomi kesejahteraan maupun manajemen kepemimpinan publik.

Dalam teori ekonomi publik, insentif bukan semata transfer uang, tetapi representasi penghargaan terhadap peran sosial yang tidak terhitung dalam mekanisme pasar.

Guru ngaji adalah agen pembangunan nonformal yang membentuk modal sosial: kejujuran, kedisiplinan, dan nilai spiritual generasi muda.

Selama ini, jasa mereka tidak tercatat dalam Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), padahal dampaknya luar biasa bagi kohesi sosial. Dengan memberi insentif, pemerintah sedang “menginternalisasi” kontribusi yang selama ini luput dari hitungan ekonomi.

Walaupun nominalnya tidak besar, insentif ini memperlihatkan arah pembangunan yang lebih inklusif—yakni mengakui peran masyarakat sipil sebagai mitra pembangunan.

Kepemimpinan yang membumi

Dari sudut pandang manajemen kepemimpinan, Perbup ini merupakan contoh kepemimpinan transformasional. Pemimpin tidak hanya fokus pada pembangunan fisik (infrastruktur, jalan, atau gedung), tetapi membangun fondasi nilai.

Kebijakan ini mencerminkan kemampuan bupati dalam menyelaraskan visi besar dengan tindakan nyata. Langit diibaratkan sebagai visi transendental yang memuliakan para pengajar Al-Quran.

Sementara itu bumi adalah wujud kebijakan konkret berupa alokasi anggaran dan mekanisme distribusi insentif yang langsung dirasakan masyarakat.

Pemimpin yang mampu menghadirkan nilai-nilai spiritual ke dalam tata kelola publik berarti memadukan rasionalitas birokrasi dengan moralitas masyarakat.

Ekonomi bermoral, efisiensi, dan keadilan

Tantangan terletak pada manajemen program. Insentif guru ngaji harus disalurkan dengan efisien (tepat sasaran, transparan, tidak birokratis) sekaligus adil (tidak menimbulkan kecemburuan sosial).

Di sinilah prinsip good governance diuji: perencanaan yang jelas, data guru ngaji yang terverifikasi, serta mekanisme pengawasan yang partisipatif.

Jika dikelola dengan baik, insentif ini bukan sekadar “uang saku”, melainkan bagian dari sistem pemberdayaan. Guru ngaji dapat memanfaatkannya untuk meningkatkan kualitas pengajaran, membeli sarana belajar, atau bahkan ikut pelatihan.

Dengan begitu, kebijakan ini memberikan multiplier effect terhadap kualitas pendidikan nonformal berbasis masyarakat.

Secara ekonomi, insentif ini memang kecil kontribusinya dalam angka makro. Namun, dari sisi ekonomi moral, kebijakan ini menegaskan bahwa pembangunan tidak hanya soal pertumbuhan, tetapi juga soal nilai.

Guru ngaji adalah pengawal moralitas masyarakat. Menyejahterakan mereka sama dengan menjaga benteng sosial dari degradasi akhlak.

Dalam jangka panjang, kebijakan ini bisa dilihat sebagai investasi sumber daya manusia. Anak-anak yang dididik dengan Al-Quran akan tumbuh menjadi generasi berkarakter, yang pada akhirnya memperkuat daya saing daerah.

Perbup Insentif Guru Ngaji di Kabupaten Bandung adalah kebijakan yang memadukan ekonomi kesejahteraan dan kepemimpinan transformasional.

Ia bukan hanya soal angka di APBD, melainkan strategi manajemen kepemimpinan yang menempatkan nilai spiritual sebagai bagian dari pembangunan daerah.

Inilah contoh nyata bagaimana sebuah kebijakan publik bisa lahir dari “langitan” nilai-nilai transendental, tetapi membumi dalam tata kelola yang praktis dan berdampak. ***

*Pemerhati Sosial Keagamaan

Exit mobile version