Oleh: Ace Somantri*
Wajar disematkan kepada Muhammadiyah sebagai ormas Islam terbesar dan terbaik dalam berkontribusi kepada umat manusia di mana pun berada. Keberadaannya sejak 114 tahun yang lalu hingga saat ini tetap menempel dalam entitasnya sebagai pemilik brand organisasi modern.
Warga persyarikatan patut berbangga sekaligus terus bersemangat dalam menjalankan syariat di Muhammadiyah. Namun, para pimpinan dan anggota tidak boleh terlena oleh pujian maupun apresiasi dari siapa pun.
Sebab, kondisi tersebut bisa menjadi peluang besar untuk maju. Namun, berpotensi juga menimbulkan stagnasi bahkan kemunduran jika tidak diantisipasi dengan baik.
Sering dielu-elukan dan dipuja-puji sebagai ormas terkaya dengan aset hingga triliunan dan juga sering dijadikan contoh entitas sosial yang berhasil dan sukses membangun peradaban. Namun, pada sisi lain efek konsekuensi dari pujian tersebut sangat mungkin menenggelamkan sikap baik dan menimbulkan sikap ujub dan takabur.
Muhammadiyah kini berdiri tegak dan kokoh, menebarkan sayap gerakannya hingga ke berbagai belahan dunia. Sejak awal, para penggerak persyarikatan telah menanamkan simbol-simbol gerakan dalam berbagai aspek kehidupan.
Gerakan dakwah Muhammadiyah dirancang dengan matang dan terukur agar setiap langkah memiliki capaian yang jelas. Dampaknya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat sebagai indikator keberhasilan dakwah.
Sejak berdiri hingga hari ini, gerakan dakwah Muhammadiyah tidak akan lekang ditelan zaman. Justru, dinamisasinya harus terus dilakukan agar senantiasa relevan dengan kebutuhan kekinian.
Pada dekade-dekade awal kelahirannya, kebutuhan krusial bangsa adalah kesejahteraan sosial, pendidikan, dan kesehatan. Kesungguhan Muhammadiyah dalam menjawab kebutuhan tersebut menjadikannya program prioritas yang bersifat fardiyah bagi persyarikatan.
Dengan semangat itu, Muhammadiyah membuktikan keseriusan dan komitmen dalam menghadirkan solusi nyata yang tidak bisa ditawar-tawar bagi umat dan bangsa.
Di era global saat ini, persyarikatan seharusnya tidak hanya meningkatkan gerakan yang telah terbangun sejak lebih dari satu abad lalu. Diperlukan pula agenda khusus yang benar-benar krusial dan dibutuhkan masyarakat, tanpa mengabaikan program yang sedang berjalan.
Disadari atau tidak, dalam dekade terakhir sejak memasuki era global, gerakan dakwah Muhammadiyah terkesan kehilangan momentum untuk benar-benar mampu mengubah kondisi masyarakat.
Padahal, sebagaimana dilakukan Kiai Ahmad Dahlan dan sahabat-sahabatnya dahulu, pilar kesejahteraan sosial, pendidikan, dan kesehatan pernah menjadi tonggak perubahan besar bagi bangsa dan negara.
Namun, setelah Kiai Dahlan dan generasi awalnya wafat, hingga kini belum lahir gerakan yang benar-benar mampu mengguncang zaman. Belum ada upaya besar yang melahirkan peradaban Islam baru yang menghadirkan Islam sebagai solusi nyata bagi peradaban dunia.
Dakwah tetaplah dakwah yang tidak bisa diubah. Namun, perlu dirumuskan algoritma baru berupa aplikasi jangka panjang selain teologi Al-Ma’un.
Sebab, inti dari teologi Al-Ma’un adalah bukti nyata dakwah yang berdampak. Artinya mengubah kondisi sosial masyarakat, membebaskan dari penindasan, dan menumbuhkan kesadaran kolektif untuk melawan ketidakadilan.
Bagi Muhammadiyah, dakwah yang berdampak bukanlah hal baru. Sejak awal, dakwah telah menjadi platform gerakan sosial yang melegenda dan tercatat dalam sejarah Islam di dunia.
Para penerus pun telah menjaga, merawat, dan mengembangkannya sehingga gerakan ini terus bertambah secara kuantitas.
Namun, untuk mengukur kualitas, dibutuhkan indikator yang jelas dan terukur. Hal ini penting, baik dilihat dari konteks maupun fokus gerakan, agar pemetaan dakwah dapat dilakukan dengan lebih rasional, logis, dan objektif.
Lebih jauh, dengan pendekatan tersebut, akan ditemukan data yang akurat dan valid mengenai kebutuhan krusial serta prioritas dakwah. Dari sanalah Muhammadiyah dapat membangun peradaban baru yang relevan di era global.
Dakwah yang berdampak merupakan kewajiban fardiyah bagi institusi. Oleh karena itu, jenis dan bentuk aplikasinya harus jelas dan tegas sehingga benar-benar memberi warna bagi bangsa, negara, dan dunia.
Pada era global, kedaulatan ekonomi umat menjadi kebutuhan yang sangat krusial. Tidak ada lagi alasan bagi Muhammadiyah untuk terus bergantung pada pihak ketiga.
Organisasi harus menyusun regulasi dan kebijakan strategis guna merumuskan algoritma gerakan ekonomi umat yang mampu membangun kemandirian persyarikatan serta seluruh pemangku kepentingan.
Dengan kekuatan amal usaha yang tersebar di seluruh Indonesia, sangat ironis jika Muhammadiyah masih bergantung secara mutlak pada pihak luar. Justru sebaliknya, pihak lainlah yang seharusnya bergantung pada Muhammadiyah.
Apalagi, Muhammadiyah memiliki aset bernilai triliunan rupiah. Potensi besar ini semestinya dijadikan modal dasar untuk menggerakkan ekonomi secara mandiri, melibatkan seluruh sumber daya yang ada—mulai dari pelaku usaha kecil warga Muhammadiyah hingga entitas bisnis Muhammadiyah itu sendiri.
Dalam teori ekonomi makro, kedaulatan dan kekuatan ekonomi sebuah negara terletak pada kekuatan ekonomi rakyat, yang direpresentasikan oleh populasi pelaku usaha minimal dua persen dari jumlah penduduk, baik pebisnis besar, menengah, maupun pelaku UMKM. Hal yang sama berlaku dalam lingkup persyarikatan Muhammadiyah.
Saat ini, mayoritas warga Muhammadiyah masih didominasi oleh pekerja formal dan informal, sementara pelaku usaha jumlahnya kurang dari dua persen dari total pimpinan dan anggota. Konsekuensinya, kekuatan ekonomi Muhammadiyah akan terus bergantung pada pihak ketiga.
Kondisi ini semakin diperparah dengan lemahnya kemampuan pengelolaan amal usaha. Banyak amal usaha Muhammadiyah berada di bawah standar dalam hal kreativitas dan inovasi untuk mendatangkan nilai finansial. Tidak sedikit yang justru tersandera oleh jeratan cicilan utang yang menumpuk.
Pada praktiknya, pimpinan amal usaha sering hanya mampu menghabiskan anggaran yang tersedia tanpa menciptakan terobosan baru. Akibatnya, kemajuan amal usaha berjalan di tempat tanpa peningkatan signifikan, sedangkan utang bertambah dan kesejahteraan sumber daya manusia terabaikan.
Lebih ironis lagi, kondisi tersebut kerap ditutupi dengan dalih pembinaan, menggunakan ungkapan klise seperti, “kita harus ikhlas dan sabar, serta jadikan apa yang dikerjakan sebagai amal saleh.”
Sesungguhnya, sikap ikhlas dan sabar akan tumbuh secara alami ketika lingkungan kerja kondusif, transparan, dan berorientasi pada kemajuan, bukan sekadar berjalan rutin.
Oleh karena itu, pola pengelolaan persyarikatan harus disesuaikan dengan kebutuhan konteks, bukan terus berlindung di balik kaidah atau pedoman organisasi yang dalam praktiknya justru sering dilanggar.
Sebagai organisasi independen, Muhammadiyah dituntut melakukan dinamika organisasi yang lebih agresif dan akseleratif. Pimpinan harus mampu melahirkan kebijakan taktis-strategis secara cepat sebab dinamika perubahan hari ini terjadi dalam hitungan menit bahkan detik.
Jika masih mengandalkan pola menunggu rapat berhari-hari, peluang besar akan terlewat begitu saja. Terbuang dengan sia-sia.
Ironisnya, gerakan dakwah Muhammadiyah saat ini masih banyak menggunakan pendekatan retoris dari podium dan panggung tanpa memberikan dampak nyata.
Sudah saatnya dakwah diwujudkan melalui interaksi langsung, kolaborasi, dan sinergi dengan berbagai pihak, sehingga hasilnya dapat segera dirasakan masyarakat. Wallahu a’lam.
*Wakil Ketua PWM Jawa Barat
