Luthfia Hastiani Muharram—Dosen Prodi Bioteknologi Universitas Muhammadiyah Bandung
MENDENGAR istilah “vaksin”, pikiran kita langsung tertuju (identik) pada ilmu dari Barat, produk Barat, bahkan ada yang menilai vaksin adalah produk konspirasi untuk melumpuhkan umat Islam. Stigma ini cukup viral dan diikuti oleh kebanyakan orang, termasuk pemuka agama yang punya banyak pengikut.
Informasi yang disebarkan tanpa landasan yang valid dan kuat sangat meresahkan terutama melihat kondisi pandemi di Indonesia yang terus meningkat karena vaksinasi adalah salah satu upaya untuk bisa keluar dari pandemi Covid-19 ini.
Benarkah vaksin adalah ilmu yang bersumber dari Barat?
Adalah Abu Bakar Muhammad ibn Zakariyya al-Razi, dikenal di Barat Al Rhazes (864-930 Masehi), tabib besar Persia pada zaman keemasan Islam abad pertengahan. Al-Razi dikenal menguasai ilmu filsafat, kimia, matematika, dan ilmu sastra. Al-Razi menghasilkan karya fenomenal yaitu kitab Al-Hawi atau Al-Haawii fil at-tiib, kitab ini diterjemahkan oleh Barat menjadi The Comprehensive Book on Medicine. Kitab ini pertama kali diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada 1279 M.
Karya al-Razi yang paling terkenal adalah A Treatise on the Smallpox and Measles (Risalah Cacar dan Campak). Al-Razi adalah ilmuwan pertama yang dapat membedakan antara penyakit cacar dan campak, juga ilmuwan pertama yang menjelaskan bahwa demam adalah bukan penyakit, melainkan mekanisme tubuh dalam melindungi diri.
Dalam bidang farmasi, al-Razi berkontribusi dalam membuat berbagai peralatan laboratorium, seperti tabung, spatula, dan mortar. Al-Razi juga mengembangkan obat-obatan yang berasal dari merkuri.
Penemuan empiris al-Razi mengenai penyakit cacar dan campak berhasil mengembangkan pergeseran paradigma filosofis mendasar dalam pemahaman manusia tentang sebuah penyakit. Pengobatan abad pertengahan didasarkan pada pengamatan klinis dari gejala penyakit epidemi yang paling menonjol, terutama penyakit dengan erupsi kulit yang khas, seperti wabah cacar dan campak. Dalam buku A Treatise on the Small-Pox and Measles, al- Al-Razi mengakui bahwa keduanya adalah penyakit yang terpisah.
Al-Razi juga menentang konsep Hippocrates dan Galen tentang teori empat humoral penyakit. Pengamatan dan kesimpulan Al-Razi ini penting dalam asal-usul konsep ontologis penyakit (yaitu entitas penyakit spesifik yang berbeda, masing-masing memiliki patogenesis uniknya tersendiri).
Dalam sejarah penyakit, pemberantasan wabah cacar secara global bermula dari penemuan empiris al-Razi di atas, yang menyimpulkan bahwa satu penyakit dapat mengubah seseorang sehingga dia menjadi tahan terhadap penyakit tersebut di kemudian hari. Al-Razi juga menyimpulkan cara terbaik untuk menghindari cacar adalah mencegah kontak dengan yang memiliki penyakit ini karena kemungkinan wabah cacar bisa menjadi epidemi.
Al-Razi mengenali kulit sebagai jendela masuk dan cermin dari gangguan fisiologis internal. Al-Razi mengidentifikasi pentingnya diagnosis dini cacar melalui pengenalan karakteristik letusannya. Dia percaya bahwa setelah diagnosis yang benar, bisa berhasil mengobati dan menyembuhkan pasien. Dia mencatat bahwa mereka yang selamat tidak lagi rentan.
Pengakuan al-Razi bahwa pasien dapat memperoleh perlindungan khusus, yaitu resistensi terhadap cacar. Kekebalan yang diperoleh, memberikan landasan konseptual dalam pengembangan selanjutnya seperti variolasi (inokulasi), jennerisasi (“cacar sapi”), dan akhirnya, imunisasi modern (vaksinasi).
Landasan konseptual al-Razi ini tercatat oleh sejarah sebagai awal mula berakhirnya (eradikasi) penyakit cacar di dunia. Vaksinasi yang kita dapatkan hari ini adalah manifestasi keilmuan dari seorang ilmuwan sekaligus tabib terbesar dari peradaban emas Islam.
Pada masa sekarang, umat Islam tidak sedikit yang berpegangan pada informasi-informasi yang tidak bersumber dari ilmu pengetahuan. Hal ini merupakan suatu kemunduran dan kenyataan yang sangat menyedihkan karena karakteristik kejayaan peradaban Islam dibangun di atas kajian-kajian ilmiah, etika, dan ilmu pengetahuan.
Sebagian dari umat Islam sekarang menolak ilmu pengetahuan kontemporer karena bersumber dari Barat. Padahal, ilmu pengetahuan semuanya berasal dari Islam, kemudian orang-orang Barat berbondong-bondong menerjemahkan kitab-kitab asli ilmuwan Islam dan menjadikannya rujukan utama. Bahkan, kitab asli al-Razi kini disimpan di Eropa, tepatnya di Universitas Leiden, Netherland.
Selain itu, kitab kedokteran yang ditulis oleh Ibnu Sina (Avicenna), yaitu kitab Al-Qaanuun fit-Thibb (The Canon) yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin sekitar abad ke-12. Kitab ini dijadikan text-book utama selama 600-700 tahun di universitas-universitas terkenal seperti Oxford, Paris, dan Budapest. Bahkan, sampai hari ini karya tersebut masih dipelajari secara intensif di Iran, Pakistan, dan Jerman. Karya ini di samping membahas ilmu bedah dan syaraf, juga membahas farmakologi dan zoologi.
Penulis tertarik mengutip tulisan dalam buku Filsafat Ilmu karya Dr. Adian Husaini, salah satu kunci umat Islam terdahulu mengukir banyak karya emas adalah umat Islam menjadikan al-‘ulumus-syar’iyyah (ilmu yang berkaitan dengan aspek keagamaan: ilmu bahasa, ilmu hadits, ilmu syariat) sebagai sebuah kajian ilmiah.
Umat Islam, dengan landasan-landasan akidah yang dimilikinya, berhasil mengembangkan kajian-kajian agamanya menjadi sebuah kajian ilmiah. Tradisi kajian ilmiah ini kemudian diaplikasikan pada pengamatan berbagai cabang ilmu.
Kondisi umat Islam sekarang cenderung memisahkan antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan. Padahal, semua ilmu pengetahuan berasal dari Allah, dan ilmu agama merupakan dasar berkembangnya ilmu pengetahuan yang berguna bagi peradaban. Barat mengakui dan menggunakan ilmu-ilmu yang berasal dari Islam, tetapi mereka tidak mengimani Islam. Sebaliknya, umat Islam yang mengimani Islam kebanyakan tidak mau mengakui dan menggunakan ilmu pengetahuan kontemporer karena ditengarai tidak Islami.
Sumber: