Ibn Ghifarie, Pegiat Institute for Religion and Future Analisys (IRFANI) Bandung
BANDUNGMU.COM – Bila membandingkan dialog antarpemeluk agama di Indonesia dengan Serbia, maka akan didapatkan wajah keagamaan di bumi nusantara ini akrab dengan budaya kekerasan dan rendahnya toleransi.
Bandingkan dengan Serbia adalah hasil dari kehancuran Yugoslavia atas perselingkuhan agama dan politik. Harus diakui, di tangan penguasa (politikus) yang ambisius, agama yang lahir untuk membimbing ke jalan yang benar disalahfungsikan menjadi alat legitimasi kekuasaan.
Agama yang semestinya bisa mempersatukan umat malah dijadikan alat untuk mengotak-ngotakkan umat atau bahkan dijadikan dalil untuk memvonis pihak-pihak yang tidak sejalan sebagai kafir, sesat, dan tuduhan jahat lainnya.
Hal itu tentunya meredupkan wajah agama dan menyuramkan kedamaian, kedalaman hidup, solidaritas, cinta, dan harapan teguh. Pokok pangkalnya adalah karena sulit menerima perbedaan, yang hingga saat ini masih saja terjadi!
Dialog Antar Iman
Melihat kenyataan seperti itu, Trias Kuncahyono memberikan penawaran dialog antar iman dengan diawali dari saling memahami, diharapkan akan tumbuh rasa persaudaraan atau bahkan rasa empati satu sama lain.
Jika umat mayoritas sudah saling memahami dan saling melindungi, besar harapan konflik antarumat yang masih sering terjadi di negeri ini lambat laun akan berkurang atau bahkan hilang sama sekali.
Fungsi agama memang untuk memberi rahmat, menebar kasih sayang antarsesama, bukan untuk saling menyalahkan, menafikan, dan mematikan satu sama lain. Urusan perbedaan antaragama tidak dapat diselesaikan dengan menggunakan istilah saling melengkapi.
Tak bisa diingkari ada rumusan iman yang bertentangan dengan teologi agama lain. Penyelesaian masalah yang timbul dari perbedaan dengan memaksakan kategorinya sendiri pada agama lain adalah bentuk aneksasi. Dialog lalu menjadi relevan.
Dialog Kemanusiaan Kendati, dialog bukan menyangkal rumusan iman agama lain. Dialog akan membantu memahami kekhasan masing-masing agama dan memotivasi pencarian Tuhan melampaui konseptualisasi formal agamanya sendiri.
Memperhitungkan acuan seperti itu menjadi bentuk penerimaan bahwa agama lain adalah kesadaran penuh di luar diriku yang membangkitkan rasa hormat. Kita, memang, belum sepenuhnya demikian. Usaha keras masih harus dilakukan, tanpa mengenal lelah.
Kekerasan antaragama
Bagi, Wilfred Cantwell Smith mendarah dagingnya budaya kekerasan antaragama itu, dikarenakan selama ini dialog antaragama dalam rangka kemanusiaan hanya berkutat pada tataran keagamaan yang bersifat positivistik. Apalagi di kalangan Barat.
“Dalam mempelajari agam orang lain, tradisi intelektual Barat merupakan kajian terhadap sesuatu yang impersonal (it). Akhir-akhir ini penelitian itu telah mengalami perubahan berupa personalisasi agama, sehingga bukan lagi berupa kajian terhadap “it” melainkan kajian terhadap “mereka.”
Dewasa ini peneliti lebih terlibat secara pribadi, sehingga terjadilah suasana di mana seorang dari “kami” berbicara tentang “mereka.” Jika masing-masing pihak bersedia saling mendengarkan, terciptalah tahapa berikutnya, di mana “kami” berbicara bersama “kamu.”
Puncak dari perkembangan ini adalah di saat “kita” semua berbicara tentang “kita.” Dengan kata lain tahapan yang harus ditempuhnya;
Pertama, agama harus diteliti secara impersonal; kedua, personalisasi iman; ketiga, dialog; keempat, dialog antar kita tentang kita. Untuk itu, kata “religion” yang sering diterjemahkan menjadi ‘agama’ merupakan salah satu konsep modern yang dibangun atas dasar metodologi yang (substansinya) antiagama.
Dengan demikian, Smith sering menggunakan istilah keimanan (faith). Pasalnya, “kita bisa mengatakan iman seseorang adalah makna yang ia dapatkan dari tradisinya … Iman seseorang adalah bagaimana ia memaknai pola hidupnya dalam terang cahaya tradisi masyarakatnya. ”
Ciptakan Dialog
Mengenai dialog antaraagama, ia (Wilfred Cantwell Smith) menjelaskan tidak ada ekslusifitas kebenaran dalam suatu agama. Bahkan, sebagai seorang Kristen yang taat ia berkata, “Saya mengingatkan di dalam Kristen tidak ada kebenaran secara absolut, impersonal dan statis; Kristen bisa menjadi benar jika anda atau saya memaknainya secara tepat dalam diri kita dan menghidupkannya dari hari ke hari.”
Upaya menciptakan dialog kemanusiaan ini para akademisi harus tampil di garda terdepan untuk membumikan nilai-nilai universal.
Proses penyatuan pemahaman tidak bisa terjadi tanpa adanya kesadarna akademisi yang kritis “Kajian akademisi terhadap sesuatu masyarakat agama harus bisa dimengerti secara simultan oleh masyarakat tersebut dan juga oleh masyarakat akademisi, termasuk mereka yang tidak terlibat dalam penelitian itu.
Di dalam perbandingan agama tugas seorang intelektual adalah membangun pernyataan yang bisa dimengerti oleh dan masyarakat agama, sebagaimana juga oleh dunia akademisi” (Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur’an, Volume III No 2 Th 1992:98-110).
Bila kita kuat memgang prinsip ini niscata tak ada lagi upaya menertibkan keyakinan orang lain yang berbeda pendapat, keimanan. Mari kita bagun dialog antaragama berbasis kemanusiaan ini secara bersama-sama.