BANDUNGMU.COM – Menyambut silaturahim dengan Badan Intelejen Negara (BIN) RI, Rabu (16/6), Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir menyampaikan catatan penting dalam konteks menyongsong Indonesia tahun 2045.
Dikutip dari laman resmi Muhammadiyah, sebagai Profesor Sosiologi, Haedar memandang tantangan terbesar Indonesia ke depan adalah menjaga kesinambungan jati diri, visi dan misi bangsa yang telah digariskan oleh para Founding Father di dalam Konstitusi agar terus berkesinambungan.
Menurut Haedar, gejala diskontinuitas atau pemutusan akar kepribadian bangsa semakin terasa baik dalam fenomena kehidupan masyarakat maupun dalam berbagai kebijakan Negara.
Arus liberalisasi, sekularisasi hingga upaya menegasikan agama dan kebudayaan dari jati diri bangsa dirasakan menguat pasca Reformasi dan amandemen UUD 1945.
“Kenapa saya mencoba masuk ke isu-isu ini? Karena ada kemungkinan ke depan termasuk sampai 2045 kita mengalami disorientasi kebangsaan. Ini sebagai ancaman,” tutur Haedar yang mengaku tak ingin Indonesia meniru nasib Soviet atau Yugoslavia.
Dengan alasan dinamisasi, Haedar mencatat banyak sekali distorsi dan deviasi dalam kebijakan negara yang semata-mata pragmatis dan justru tidak selaras dengan jiwa, pemikiran dan cita-cita pendiri bangsa yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 dan Pancasila.
“Deviasi dan distorsi itu terasa. Mestinya di DPR tidak terjadi kegaduhan terkait Rancangan Undang-Undang yang ketika dikonfirmasi memang bertentangan dengan Konstitusi,” contoh Haedar.
Sebagai dampaknya, Haedar menengarai berbagai gejala seperti polarisasi, ultra nasionalisme, chauvinistic, ekspolitasi alam, sifat individualistik, kapitalistik, hedonis, hingga radikalisme kerap dijumpai dalam kehidupan warga negara yang semakin berjarak dengan jati diri asalnya.
Memposisikan Agama di Tempat yang Selayaknya
Bagi masyarakat Indonesia, agama dan kebudayaan luhur bangsa hampir menduduki posisi yang sama. Haedar mengutip salah seorang perumus UUD 1945 dan Pancasila, Soepomo yang menyatakan bahwa Indonesia bukanlah barang mati, tapi negara yang bernyawa.
“Ketika kita ingin rekonstruksi pendidikan, budaya, ingat Indonesia bukan barang fisik yang kita hanya bisa pragmatis menghadapi masa depan. Harus ada aspek idealisme untuk menghadapi masa depan sehingga jangan asal meminjam konsep masa depan bangsa lain,” jelas Haedar.
Secara khusus, Haedar juga menyampaikan bahwa belakangan, posisi agama maupun kebudayaan nampak sering dipinggirkan. Posisi agama di dalam kebijakan lebih sering dinarasikan sebagai primordialisme. Jikapun diakomodasi, posisi agama terutama Islam kerap dipertentangkan dengan kebudayaan.
Agar tak terjadi bias dan reduksi, Haedar Nashir lantas mendukung BIN melakukan penelitian dengan pendekatan antropologis untuk merespon tantangan di atas. Termasuk, dalam narasi bahwa radikalisme secara factual dan ilmiah bukan hanya masalah umat Islam saja.
“Mohon ada rekonstruksi. Konsep radikalisme dan terorisme hanya dilekatkan pada agama. Menurut saya ini sudah kadaluarsa. BIN dan badan analis perlu melakukan rekonstruksi,” dorong Haedar.
“Dan ini objektif, saintifik, dan historis. Saya berani mempertanggungjawabkan. Tapi tolong risetnya dan konstruksi yang kita bawa open minded, jangan terbawa oleh masukan-masukan terbatas dari orang-orang yang dekat dari kita,” pesannya.
“Maka negara tidak boleh sembarangan mengkonstruksi radikalisme dan ekstrimisme hanya pada satu aspek. Itu menjebak, dan ketika kita memakai itu, itu menjadi titik picu konflik. Di situlah pertanggungjawaban kita bahwa negara berdiri tegak di atas semuanya,” pesan Haedar.
“Maka seluruh warga bangsa terlebih elit mestinya tidak lagi berselisih soal posisi agama karena juga agama punya tempatnya. Agama bukan dasar negara. Dasar Negara adalah Pancasila,” pungkas Haedar.