Oleh: M Rizal Fadillah*
BANDUNGMU.COM — Saat ini, publik tengah disibukkan dengan sorotan terhadap perampokan dana rakyat yang dilakukan oleh mantan Menteri Sosial Juliari Batubara dan rekannya dari partai PDIP.
Kejahatan ini sangat brutal, terutama di saat pandemi, di mana dana bantuan sosial (bansos) yang seharusnya untuk membantu masyarakat justru diselewengkan.
Kekecewaan masyarakat sangat mendalam, hingga tuntutan hukuman mati untuk Juliari dan bahkan pembubaran PDIP pun terdengar. Sementara itu, di tengah berlanjutnya perampokan dana rakyat, mulai dari kasus Jiwasraya, Asabri, Pertamina, hingga isu lobster dan kini bansos, pemerintah justru mengumumkan Gerakan Nasional Wakaf Uang.
Inisiatif ini, meskipun terdengar seperti langkah yang biasa, menjadi sangat mencolok karena diusung pada saat negara tengah menghadapi krisis keuangan yang serius.
Banyak yang menduga bahwa di balik gerakan ini ada motif ekonomi, meski diklaim sebagai langkah ibadah. Presiden sendiri menyebutkan bahwa wakaf bukan hanya sebagai bentuk ibadah, tetapi juga memiliki dimensi sosial dan ekonomi.
Pernyataan ini menunjukkan kedangkalan pandangan keagamaan dan sikap sekuler yang memisahkan ibadah dari aspek sosial dan ekonomi. Bagi seorang Muslim sejati, aspek sosial dan ekonomi seharusnya dilihat sebagai bagian dari ibadah itu sendiri.
Kebijakan pemerintah di bawah rezim ini semakin menunjukkan pola yang menguntungkan segelintir pihak, dengan terus mengeruk dana dari berbagai sektor, mulai dari investasi yang semakin sulit didapatkan, utang luar negeri yang semakin menumpuk hingga 6.000 triliun, hingga pengambilan dana umat Islam melalui zakat dan dana haji.
Kini, giliran dana wakaf umat Islam yang menjadi incaran, dengan estimasi dana yang bisa digali mencapai 188 triliun per tahun. Sri Mulyani bahkan sudah membayangkan penggunaan dana wakaf ini untuk pembangunan infrastruktur.
Namun, meskipun umat Islam seharusnya mendukung adanya program yang berlandaskan syariat agama, ada kejanggalan dalam kebijakan pemerintah yang tampak ambivalen. Di satu sisi, umat Islam terus diterpa isu radikalisasi, intoleransi, terorisme, dan ekstremisme, bahkan ulama dan aktivis pun dikriminalisasi. Di sisi lain, dana umat, melalui zakat, haji, dan wakaf, justru diambil untuk tujuan yang tidak berkaitan langsung dengan ibadah, melainkan untuk kepentingan infrastruktur.
Yang lebih parah lagi, dana yang ada di BUMN juga tak luput dari praktek korupsi, begitu pula dana pinjaman untuk penanggulangan pandemi yang habis dirampok. Krisis ekonomi yang sudah semakin mendalam mendorong pemerintah untuk mencari-cari sumber dana, termasuk menggali dana wakaf umat.
Ironisnya, Wakil Presiden yang juga seorang kiai seharusnya menjadi penjaga kebijakan terkait keumatan, malah terkesan hanya menjadi tukang stempel kebijakan-kebijakan yang ambigu, mulai dari soal vaksin yang wajib dan halal, penggunaan dana haji untuk kepentingan selain haji, eksploitasi zakat, hingga pembenaran penggunaan wakaf untuk hal-hal yang bukan ibadah.
Wakaf uang di tengah perampokan uang adalah tema dari drama negara. Ada sindiran gambar foto seseorang yang sedang melirik tajam sambil tersenyum, lalu ada tulisan di atasnya “that moment” dan di bawahnya–when the corruptor hear ‘wakaf’–hehe.
*Pemerhati Politik dan Kebangsaan