BANDUNGMU.COM — Bangsa Indonesia pernah menjadi bangsa yang mengalami tanam paksa atau kerja paksa untuk memberikan keuntungan kepada penjajah pada zaman dahulu.
Mereka bekerja di bawah tekanan dan todongan senjata. Bahkan disiksa. Kalau melawan tentu saja akan meregang nyawa. Ketika itu, para penjajah benar-benar berbuat semaunya dan semena-mena terharap bangsa pribumi.
Wilayah yang mengalami tanam paksa adalah Priangan atau Jawa Barat yang dikenal dengan Preangerstelsel (sistem Priangan).
Dikutip dari wikipedia, Preangerstelsel adalah tanam paksa kopi yang diberlakukan di Parahyangan pada 1720. Rakyat diwajibkan menamam kopi dan menyetorkan hasilnya ke VOC melalui para bangsawan daerah.
Hal ini sangat menguntungkan bagi Belanda dan membuat VOC menjadi produsen kopi terpenting di dunia, dengan kopi sebagai komoditas ekspor paling menguntungkan dari Jawa hingga pertengahan abad ke-19.
Kebijakan ini kemudian juga mengilhami lahirnya Cultuurstelsel atau tanam paksa pada 1830 yang diberlakukan pada wilayah yang lebih luas dengan komoditas tanam yang lebih beragam. Kebijakan Preangerstelsel berlangsung hingga 1916.
Menak dan sentana
Beda antara Preangerstelsel dengan Cultuurstelsel adalah bahwa kalangan bangsawan Sunda dikerahkan untuk memimpin budidaya kopi, dari awal abad 18 itu.
Sementara di wilayah Jawa lainnya, pada zaman Cultuurstelsel, para bangsawan, misalnya bupati, tidak diikutkan dalam memimpin produksi tanamannya.
Pimpinan budidaya tanaman jatuh ke tangan pemimpin desa. Mereka dan pimpinan desa lain yang mengendalikan para petani. Namun, di Pasundan yang berperan adalah para menak dan sentana.
Sentana merupakan bangsawan Sunda yang lebih rendah. Secara bersama mereka terlibat dalam pengendalian budidaya kopi.
Itu perbedaan pertama, yakni bangsawan setempat dilibatkan. Perbedaan lain juga masih ada. Misalnya akibat pengerahan para bangsawan itu, para petani Sunda juga harus menyerahkan panen tanaman paksa, tetapi juga panen padi mereka dalam jumlah besar.
Pada zaman kekuasaan Gubernur Jenderal Daendels, jumlah itu meningkat sampai seperlima panen padi. Itu merupakan semacam gaji bagi para menak dan sentana Pasundan. Sementara di tempat lain justru hal semacam itu tidak pernah terjadi.
Itu dua contoh perbedaan utama antara keduanya. Namun, perbedaannya adalah bahwa budidaya beberapa tanaman yang berbeda dari satu daerah ke daerah lain. Kalau di daerah-daerah lain tanamannya adalah tebu atau indigo, maka di Pasundan budidayanya adalah kopi.
Budidaya kopi di Jawa untuk keperluan pemasaran di pasaran dunia sudah dimulai sejak awal abad ke-18. Pada waktu itu, VOC menjelajah mencari barang-barang kolonial di berbagai bagian kepulauan Nusantara.
Tanaman kopi yang didatangkan dari India Selatan ternyata dapat tumbuh baik di daerah pedalaman markas besar kolonial yang berbukit-bukit. Para pedagang VOC itu mendorong budidaya tanaman asing ini.
Pada mulanya mereka memborong hasil panen masyarakat petani. Namun, apa yang awalnya bersifat sebagai transaksi komersial segera berubah menjadi penyetoran kopi secara paksa dengan harga yang jauh di bawah harga pasar.***














