BANDUNGMU.COM-Memasuki usia ke-85, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif atau biasa disapa Buya Syafii mendapat hadiah berupa buku yang ditulis oleh 55 orang yang terdiri dari anak didiknya, kalangan akademisi, dan politisi. Buku ini merupakan upaya untuk merekam riwayat intelektualisme Buya Syafii Maarif yang selama ini berkembang di ruang publik.
Buku baru ini menjadi semacam tafsir terhadap pelajaran-pelajaran yang selama ini disampaikan Buya Syafii. Buku setebal 320 halaman ini merangkum kontribusi pemikiran dari puluhan intelektual. Di antaranya, Abd. Mu’thi, Abd. Rohim Ghazali, Ahmad Najib Burhani, Hajriyanto Y. Thohari, Luhut Binsar Panjaitan, Fajar Riza Ul-Haq, Sunanto, dan lain-lain.
Ketua Umum PP. Muhammadiyah Haedar Nashir dalam kata pembuka buku ini menyebut sosok Buya Syafii sebagai bapak bangsa dan telah menorehkan pemikiran maju bagi negara Indonesia. “Buya Syafii sosok yang sederhana, tentu cerdas berilmu dan berwawasan luas, humanis, serta lugas tapi santun. Kelugasannya lahir dari sikapnya yang terbuka secara tulus. Sikap terbuka apa adanya yang membuat dirinya sangat egaliter dan demokatis”.
Ia melanjutkan, “Umat dan bangsa merindukan para negarawan yang tidak mengedepankan keakuan dalam segala atribut kegagahan diri, tetapi menghadirkan kebermaknaan yang menebar benih kebaikan melintas-batas nan autentik dalam bingkai rahmatan lil ‘alamin” ungkap Haedar.
Agamawan, Ilmuwan Sekaligus Negarawan
Buya Syafii Maarif, seperti yang dikatakan oleh Haedar adalah agamawan dan ilmuwan sekaligus negarawan. Tiga predikat yang melekat pada diri seorang guru bangsa yang rendah hati dan bersahaja ini jarang dimiliki tokoh bangsa lainnya. Biasanya seseorang hanya mendapat predikat ilmuwan, agamawan atau negarawan, atau paling banter dua predikat seperti ilmuwan yang negarawan atau seorang agamawan yang negarawan.
Tentunya bukan tanpa dasar, kalau Buya disebut dengan tiga predikat itu. Pertama agamawan, di samping pernah menjadi sebagai Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, ormas kedua terbesar setelah NU di negeri ini (1999-2005). Buya juga sangat mengusai ilmu keagamaan.
Bahkan, disertasinya pun dalam bidang pemikiran Islam. Buya juga sering menulis dan diundang dalam berbagai seminar nasional dan internasional yang membahas masalah Islam atau perkembangan Islam.
Buya juga menulis beberapa buku tentang Islam, di antaranya buku Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara. Selanjutnya, Buya dikenal sebagaii ilmuwan karena menjadi guru besar di Universitas Negeri Yogyakarta dan Universitas Islam Negeri Yogyakarta sekaligus sering diundang menjadi dosen tamu di berbagai perguruan tinggi.
Kesederhanaan Buya
Buya adalah orang yang sudah selesai dengan dirinya, sudah tidak ada ambisi atau keinginan untuk kepentingan pribadi atau kepentingan keluarganya. Buya sangat menikmati hidup sederhana dan bersahaja, walaupun banyak tawaran untuk mendapat fasilitas mewah.
Prinsip hidup Buya, mirip dengan prinsip hidup Bung Hatta. Bung Hatta yang hidup pas-pasan, bahkan untuk membayar tagihan listrik dan air saja kesulitan, menolak tawaran menjadi komisaris pada perusahaan asing dan perusahan dalam negeri yang bergaji besar. Bukan sesuatu yang ganjil bagi warga kawasan Nogotirto, Yogyakarta melihatnya mengayuh sepeda di jalan.
Orang-orang berbagi kisah, menemui dia di angkringan, membeli sabun di warung, naik KRL dan selalu duduk di kelas ekonomi ketika menggunakan pesawat. Juga bagaimana dia begitu sabar mengantri saat memeriksakan diri di rumah sakit milik Muhammadiyah, yang turut dibesarkannya.
Sebagai seorang ilmuwan dan sejarawan, Buya selalu mengingatkan bahwa sejarah ilmu pengetahun yang banyak berasal dari dunia Islam seperti aljabar dan ilmu kedokteran oleh Ibnu Sina, harus mampu dibangkitkan kembali dan disesuaikan dengan kebutuhan kompetisi dunia saat ini. Umat Islam harus kreatif dan produktif seperti bangsa Jepang, Korea, dan Tiongkok yang merajai produksi barang-barang berteknologi tinggi.
Harapan Buya
Buya berharap, umat islam mampu menjadi subjek atau pelaku dari pesatnya perkembangan teknologi dan inovasi dunia, tidak seperti sekarang ketika sebagian umat hanya menjadi objek atau pasar dari produksi bangsa lainnya.
Dalam konteks politik kenegaraan Indonesia, kita semua bersepakat bahwa Buya Syafii telah memberi corak yang sangat berarti dalam perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kehadiran Buya Syafii di Nusantara adalah anugerah yang patut disyukuri.
Sebagai tokoh Muhammadiyah, Buya menjadi sosok yang senantiasa hadir melintasi golongan, kelompok keagamaan, elite bangsa dan bahkan dalam pergaulan internasional. Pemikirannya selalu menjemput zaman dan benar-benar memecah ombak arus besar perkembangan problematika kemanusiaan, baik dalam kehidupan bermasyarakat, beragama dan bernegara.
Buya Syafii, sebagai sosok yang mewakili civil society, dia tidak anti kekuasaan dan anti rezim, tetapi juga tidak larut dan tidak masuk pada rezim itu. Tentu setiap orang punya kekurangan, tetapi benang merahnya adalah, Buya ingin menghadirkan Islam, Muhammadiyah dan wawasan kebangsaan yang merawat kemajemukan. Tidak jarang, pemikiran Buya sebagai tokoh Muhammadiyah yang maju, dinilai sebagai pemikiran liberal dalam makna positif.
Kiprah Buya Syafii melampaui batas-batas negara sebagai sebuah institusi politik dan melampaui lintas agama, di mana semua agama dan lembaga-lembaga agama juga mengakuinya. Buya Syafii memiliki pandangan agar islam yang berkembang di Indonesia adalah islam yang terbuka, inklusif dan memberi solusi pada masalah besar dan negara.
Terbuka, Visioner, Optimis
Umat Islam harus bermental terbuka, visioner, optimis tidak putus asa dan tidak bermental minoritas. Pemikiran-pemikiran Buya selalu relevan dalam berbagai konteks sehingga generasi milenial digiring untuk memiliki perspektif, sikap dan pendirian yang relatif sama dengan Buya dalam memotret berbagai dinamikan dan perubahan isu yang terjadi di Indonesia. Buya memberikan pesan agar generasi muda harus menjadi jangkar bagi penyemaian berbagai ide dan gagasan di masyarakat lebih luas.
Tanpa bermaksud melebih-lebihkannya, pemikiran dan karya intelektualnya harus diakui telah membawa pengaruh besar dalam pembentukan tradisi intelektualisme Islam di Indonesia. Jika kita telisik karya karya tulisnya, Buya hampir tak pernah absen berkhutbah tentang nilai-nilai kemanusiaan universal, mengumandangkan moralitas, dan keadaban publik.
Tak jarang khutbah-khutbah ilmiahnya banyak menimbulkan kesalahpahaman. Jumlah umat Islam yang mayoritas di bumi nusantara ini, mendorong Buya tak pernah berhenti mengingatkan agar tidak lagi mempersoalkan hubungan trilogi antara Islam, keindonesiaan, dan kemanusiaan. Ketiga konsepsi tersebut, menurutnya, haruslah senafas dan seirama agar Islam yang berkembang di Indonesia adalah benar-benar Islam yang berkemajuan, ramah, terbuka, dan rahmatan lil ‘alamin.
Sembari mengutip ungkapan gurunya Fazlur Rahman, Buya mengatakan bahwa Islam yang tidak memberikan solusi bagi urusan kemanusiaan, bukanlah Islam yang sejati dan tidak memiliki masa depan. Bagi Buya, agama (Islam), termasuk segala hal yang ada di dalamnya seperti Kitab Suci dan bahkan Nabi, adalah untuk manusia, dan bukan untuk Tuhan. Sikap inilah yang membedakan dengan sikap kebanyakan Muslim yang masih sangat teosentris, yakni segala hal yang ada dalam agama hampir selalu masalah Tuhan. Sedangkan perihal manusia justru terlupakan.
Inspirasi Buya
Sunanto, Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah, mengatakan:
“Memperingati milad Buya Syafii tidak cukup dengan mengucapkan selamat. Kader Muhammadiyah dan pemuda di Indonesia tidak cukup dengan membedah pemikiran dan perjalanan hidupnya. Seperti ajaran konsistensi Buya, bahwa nilai kenegarawanan harus menjadi komitmen kolektif seluruh anak bangsa untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari… Sosok Buya yang selalu gelisah dengan keadaan negaranya dan berani melawan ketidakadilan dan segala kesenjangan harus melekat dan menjadi komitmen kolektif.”
Selain Sunanto, Neni Nur Hayati, Direktur Eksekutif Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP), memberikan kesaksian bahwa sosok pribadi dan intelektualisme Buya sangat tecermin dalam buku-buku yang dikarangnya.
“Di mata kaum perempuan milenial seperti penulis, Buya adalah teladan dan panutan bersama. Sosok sepuh yang mengayomi, hidup dengan kesederhanaan dan kejujuran, jauh dari hedonisme, ultra-konsumerisme dan pragmatisme sosial. Namun, Buya juga seorang demokrat sejati, pluralis, liberalis tapi sangat religius… Pemikiran Buya yang sangat progresif juga sangat peduli terhadap isu-isu perempuan dan anak. Oleh karena itu, perlu kiranya pemikiran Buya ini ditransformasikan oleh anak muda. Melihat sosok buya yang demikian hebat, semoga kedepan ada buya-buya lain dari kalangan kaum muda.”
Di usianya yang tidak lagi muda, Buya Syafii tetap arif dan tidak pernah merasa “mentang-mentang”, sehingga mengundang simpati Luhut Binsar Panjaitan yang juga menulis di buku ini. Di balik seluruh kehebatan pemikiran Buya Syafii, begitu kesan Luhut, ada satu karakter beliau yang sangat menawan dan patut dijadikan tauladan bagi generasi muda kita, yaitu kebersahajaannya.
“Dalam kebersahajaannya, Syafii Maarif tetap konsisten dengan panggilannya untuk membela negeri ini dari “musuh” yang selama ini bersembunyi di balik selimut. Semoga ke depan bangsa ini tetap akan menemukan negarawan-negarawan baru tatkala kita mungkin saja bingung saat mencari negarawan”, tegasnya.
Kemanusiaan dan Kebangsaan
Tema tema besar tentang kemanusiaan dan kebangsaan menjadikan Buya Syafii diterima dan dihormati tidak saja oleh kalangan Muhammadiyah, namun juga NU dan yang lainnya, termasuk kalangan non-muslim. Buya sendiri tak pernah canggung bergaul dan menjalin hubungan baik dengan pemuka dan tokoh-tokoh agama; Kristen, Buddha, Hindu, Tionghoa, kalangan nasionalis, NU dan juga tokoh-tokoh dunia. Baginya, ini merupakan modal yang sangat besar untuk membangun toleransi dan dialog dengan kelompok lain.
Melalui buku ini kita bisa belajar dari sosok yang sangat berintegritas dan memiliki kontribusi besar untuk isu isu keislaman, keindonesiaan dan kemanusiaan. Buya Syafii adalah pribadi otentik yang berakhlak karimah. Bagi yang kenal, mereka akan punya gambaran utuh tentang guru bangsa yang sederhana dan tidak lapar dipuja-puja [BMR].
Review Buku: David Krisna Alka dan Asmul Khairi (eds.), Mencari Negarawan: 85 Tahun Buya Ahmad Syafii Maarif, 2020.