BANDUNGMU.COM — Bagi Anda penggemar kopi dipastikan tahu dan mungkin sering minum kopi jenis yang satu ini. Kopi jenis ini terbilang mahal karena prosesnya yang cukup lama dan langka juga.
Ya, inilah kopi luwak, kopi yang harganya termasuk salah satu yang paling mahal di antara jenis-jenis kopi lainnya di dunia internasional.
Seperti apa sejarah kopi luwak dan seperti apa juga hukumnya menurut pandangan Islam? Berikut ulasannya yang dikutip dari Wikipedia dan laman nu.or.id.
Kopi luwak adalah seduhan kopi menggunakan biji kopi yang diambil dari sisa kotoran luwak/musang kelapa. Biji kopi ini diyakini memiliki rasa yang berbeda setelah dimakan dan melewati saluran pencernaan luwak.
Kemasyhuran kopi ini di kawasan Asia Tenggara telah lama diketahui, tetapi baru menjadi terkenal luas di peminat kopi gourmet setelah publikasi pada 1980-an. Biji kopi luwak adalah yang termahal di dunia mencapai kurang lebih USD 100 per 450 gram.
Bermula dari zaman Belanda
Asal mula kopi luwak dilatarbelakangi oleh sejarah pembudidayaan tanaman kopi di Indonesia. Pada awal abad ke-18, Belanda membuka perkebunan tanaman komersial di koloninya di Hindia Belanda terutama di pulau Jawa dan Sumatera.
Salah satunya adalah perkebunan kopi arabika dengan bibit yang didatangkan dari Yaman. Pada era “tanam paksa” atau cultuurstelsel (1830-1870), Belanda melarang pekerja perkebunan pribumi memetik buah kopi untuk konsumsi pribadi, tetapi penduduk lokal ingin mencoba minuman kopi yang terkenal itu.
Kemudian pekerja perkebunan akhirnya menemukan bahwa ada sejenis musang yang gemar memakan buah kopi. Namun, hanya daging buahnya yang tercerna, sedangkan kulit ari dan biji kopinya masih utuh dan tidak tercerna.
Biji kopi dalam kotoran luwak ini kemudian dipunguti, dicuci, disangrai, ditumbuk, kemudian diseduh dengan air panas, maka terciptalah kopi luwak.
Kabar mengenai kenikmatan kopi aromatik ini akhirnya tercium oleh warga Belanda pemilik perkebunan, maka kemudian kopi ini menjadi kegemaran orang kaya Belanda. Karena kelangkaannya dan proses pembuatannya yang tidak lazim, kopi luwak pun menjadi kopi yang mahal sejak zaman kolonial.
Luwak, atau lengkapnya musang luwak, senang sekali mencari buah-buahan yang cukup baik dan masak, termasuk buah kopi sebagai makanannya.
Dengan indra penciumannya yang peka, luwak akan memilih buah kopi yang betul-betul matang sebagai makanannya, dan setelahnya, biji kopi yang masih dilindungi kulit keras dan tidak tercerna akan keluar bersama kotoran luwak.
Hal ini terjadi karena luwak memiliki sistem pencernaan yang sederhana sehingga makanan yang keras seperti biji kopi tidak tercerna.
Biji kopi luwak seperti ini, pada masa lalu hingga kini sering diburu para petani kopi karena diyakini berasal dari biji kopi terbaik dan telah difermentasikan secara alami di dalam sistem pencernaan luwak.
Aroma dan rasa kopi luwak memang terasa spesial dan sempurna di kalangan para penggemar dan penikmat kopi di seluruh dunia.
Kopi luwak yang diberikan oleh Presiden SBY kepada PM Australia Kevin Rudd dalam kunjungannya ke Australia pada Maret 2010 menjadi perhatian pers Australia karena menurut Jawatan Karantina Australia tidak melalui pemeriksaan terlebih dahulu. Pers menjulukinya dung diplomacy.
Daerah penghasil kopi luwak
Gayo – Aceh, Sidikalang, Desa Janji Maria (Kabupaten Padang Lawas), Kota Pagaralam, Semende (Kabupaten Muara Enim), Liwa (Kabupaten Lampung Barat), Kotabumi (Lampung), Jawa Barat, Jawa Timur, dan Bengkulu.
Muncul kontroversi
Suatu investigasi di Sidikalang – Sumatra Utara dan Takengon – Aceh oleh PETA yang bekerja sama dengan BBC mengungkapkan tentang sebuah penangkaran yang berisi luwak yang ditangkap dari alam.
Luwak itu dimasukkan ke dalam kandang kecil dan hanya diberi makan biji kopi setiap harinya hanya untuk diambil kotorannya yang kemudian diolah menjadi kopi luwak.
Tak hanya itu, luwak-luwak itu juga menjadi berperilaku tidak normal seperti terus bergerak mondar-mandir, berputar-putar, dan menggigit kerangkeng.
Gerakan untuk memboikot kopi luwak pun bermunculan. Bantahan mengenai hal tersebut pun bermunculan terutama dari kalangan produsen kopi luwak.
Pandangan Islam
Untuk menjawab mengenai status hukum kopi luwak, ada baiknya kita melihat status hukum biji kopi luwak terlebih dahulu karena yang menjadi titik persoalannya adalah pada biji kopi luwaknya.
Lantas bagaimana dengan pandangan fikih melihat biji kopi luwak tersebut?
Dikutip dari laman nu.or.id, dalam pandangan para ulama dari kalangan Madzhab Syafii, apabila ada binatang yang memakan biji kemudian biji itu keluar dari perutnya dalam keadaan utuh, maka dalam konteks ini perlu dilihat.
Apabila kekerasan biji tersebut masih tetap terjaga sehingga sekiranya ditanam bisa tumbuh, maka status hukum biji tersebut adalah suci akan tetapi wajib dicuci bagian luarnya karena bersentuhan dengan najis.
“Para sahabat kami rahimahumullah (para ulama dari kalangan Madzhab Syafii) berpendapat bahwa apabila seekor binatang memakan biji kemudian biji tersebut keluar dari perutnya dalam keadaan masih utuh. Dalam konteks ini apabila kekerasannya masih tetap di mana sekiranya ditanam akan tumbuh, maka biji tersebut adalah suci, akan tetapi harus dicuci permukaan atau bagian luarnya karena bersentuhan dengan najis,” (Lihat Muhayiddin Syarf An-Nawawi, Al-Majmu Syarhul Muhadzdzab, Jeddah, Maktabah Al-Irsyad, juz II, halaman 591).
Jika pandangan yang dikemukakan Imam Nawawi ini ditarik dalam konteks pertanyaan seperti apa status kopi dari luwak, maka pandangan ini mengandaikan bahwa biji kopi yang dimakan luwak kemudian keluar lagi melalui duburnya, dan sepanjang kekerasannya masih tetap dan bisa ditanam kembali, maka masuk kategori barang suci yang terkena najis (mutanajjis) di mana bagian luarnya terkena najis sehingga bisa disucikan dengan cara dicucinya, sedangkan bagian dalamnya tidak najis.
Argumentasi rasional yang dibangun untuk meneguhkan pandangan ini adalah bahwa meskipun biji adalah makanan bagi binatang, tetapi biji tersebut tidak mengalami kerusakan.
Hal ini sama dengan binatang yang menelan biji kemudian bijinya keluar. Bagian dalam biji tersebut adalah suci, sedang kulitnya adalah najis dan bisa suci dengan dicuci.
Berbeda kasusnya binatang menelan biji kemudian bijinya keluar, tetapi kekerasannya telah hilang sehingga sekiranya ditanam tidak akan tumbuh, maka dalam konteks ini biji tersebut statusnya adalah najis.
“Sebab, kendatipun biji tersebut adalah makanan binatang, tetapi tidak menjadi rusak. Karenanya menjadi seperti binatang yang menelan biji kemudian biji keluar (dari duburnya, penerjemah), maka bagian dalam biji tersebut adalah suci dan kulitnya menjadi suci dengan dicuci. Berbeda jika kekerasan biji tersebut telah hilang, di mana sekiranya ditanam tidak akan tumbuh, maka biji tersebut adalah najis,” (Lihat Muhyiddin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu Syarhul Muhadzdzab, juz II, halaman 591).***