BANDUNGMU.COM – Kalau jalan-jalan ke warung makan atau restoran khas Sunda, jangan kaget kalau Anda melihat banyak lalapan mentah nan segar pelengkap makan. Misalnya lalap kol, buncis, antanan, daun leunca, daun kemanggi, mentimun, selada, pohpohan, atau reundeu.
Dikutip dari tirto.id, dalam kajian antropologi, makanan dipandang memiliki makna-makna simbolik yang jauh lebih dalam ketimbang sekadar pemenuh kebutuhan sehari-hari.
Seto Nurseto, seorang lulusan program studi antropologi Universitas Padjadjaran, mengatakan bahwa makanan berkaitan erat dengan kebudayaan yang melingkupinya.
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sekelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Kebanyakan orang kerap menyamakan kebudayaan dengan kesenian, terutama kesenian tradisonal, padahal kesenian hanyalah satu bagian kecil dari kebudayaan.
”Budaya pahili eujeung seni. Jadi, orang kalau ditanya ‘tahu budaya sunda, tidak?’ jawabnya jaipongan, ketuk tilu, kuliner, dan seterusnya. Bagi mereka, budaya Sunda hanya itu,” ujar Mochamad Ari Mulia, Ketua Dewan Karatuan Majelis Adat Sunda.
Rimbo Gunawan, pengampu mata kuliah ‘Makanan dan Kebudayaan’ di program studi antropologi Universitas Padjadaran menjelaskan: sesuatu yang dianggap makanan oleh satu kebudayaan belum tentu dianggap makanan juga oleh kebudayaan yang lain. Setiap kelompok mengatur makanan mereka berdasarkan aturan budaya masing-masing. Aturan itu bisa didasari berbagai macam hal seperti keyakinan, sejarah, dan lain-lain. Konsekuensinya paradoksal: di satu sisi makanan bisa mengkotak-kotakan, tapi di sisi lain makanan juga bisa menjadi pemersatu.
”Perjanjian damai, misalnya, pasti diawali atau diakhiri dengan makan bersama,” ujar calon doktor Radboud University, Nijmegen, Belanda, tersebut.
Makanan Sunda dan Lalapan
Dalam makalahnya untuk Konferensi Internasional Budaya Sunda I pada Agustus 2001 silam, pakar mikrobiologi Institut Teknologi Bandung Unus Suriawieia menjelaskan bahwa dari 80 jenis makanan Sunda, lebih dari 65 persen di antaranya ialah tumbuh-tumbuhan.
Unus dalam bukunya ”Lalab dalam Budaya dan Kehidupan Masyarakat Sunda” menjelaskan bahwa kegemaran masyarakat Sunda makan lalap sejalan dengan budayanya yang mementingkan harmoni manusia dengan alam.
Samson, seorang pengamat budaya Sunda yang bekerja sebagai dosen Ilmu Informasi dan Perpustakaan Universitas Padjajaran, mengatakan bahwa budaya Sunda tak sekadar mendefisinisikan suku atau etnis. Menurutnya, lebih dalam dari itu, kebudayaan Sunda juga membicarakan kebaikan dan keburukan.
”Ada penanda dari kebudayaan Sunda yang berjaya selama 900 tahun, yaitu Sad Rasa Kemanusiaan atau enam aspek nilai kemanusiaan Sunda. Yang pertama adalah moral manusia terhadap Tuhan, kedua adalah moral manusia terhadap pribadinya, yang ketiga adalah moral manusia dengan manusia lainnya, keempat adalah moral manusia terhadap waktu, yang ke lima itu moral manusia terhadap alam, dan yang terakhir adalah moral manusia terhadap kesejahteraan lahir batin,” ujar Samson.
Maka, kebudayaan Sunda menuntut manusia supaya berhubungan baik dengan semua ciptaan Tuhan lainnya. Tidak hanya dengan sesama manusia, tapi juga dengan hewan dan tumbuh-tumbuhan. Hal itu semakin memperjelas bahwa manusia Sunda memang mengenal alam dan terbiasa hidup menyatu dengan alam. Kebiasaan mengkonsumsi lalap hanya salah satu pantulan dari cara hidup tersebut.
Samson melanjutkan, pehuma Sunda mengenal pembagian tanaman berdasarkan untuk siapa tanaman itu ditanam. Dalam proses bertani yang berlangsung selama kurang lebih enam bulan itu mereka juga menyempatkan diri menanam tumbuh-tumbuhan buat dimakan hewan-hewan yang tinggal di kawasan tersebut dan yang berguna dalam merawat ekosistem. Contohnya, dekat sumber air atau tampias, pehuma kerap menanam marémé karena tumbuhan itu mampu menahan air.
Berbeda dari Samson, menurut Rimbo, keterampilan manusia Sunda mengenali alamnya boleh jadi merupakan buah dari keragaman ekologi yang ada di tanah Sunda.
”Dalam seminar kebudayaan Sunda pada 2005 atau 2009, ada satu makalah yang mengatakan keragaman hayati di Jawa Barat jauh lebih kaya dibandingkan dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dari pernyataan itu kita bisa menganalisis apakah keragaman itu terkait dengan lalapan. Dan dari situ kita bisa menangkap bahwa orang Sunda mendefinisikan lalap secara sangat luas,” ujarnya.