PMB Uhamka
Sosbud

Mengenal Tradisi “Ngamandian Ucing” dari Bandung Barat

×

Mengenal Tradisi “Ngamandian Ucing” dari Bandung Barat

Sebarkan artikel ini
Ritual 'Ngamandian Ucing'. (Youtube Hernandi Tismara).

BANDUNGMU.COM – Ngamandian Ucing adalah sebuah ritual kesuburan yang ditradisikan  menjadi ritus buhun oleh masyarakat kampung Nyenang, Kecamatan Cipeundeuy, Kabupaten Bandung Barat.

Penggagasnya adalah Nyimas Kubang Karancang sebagai leluhur masyarakat kampung Nyenang. Berdasarkan penuturan dari tokoh masyarakat, Abah Aca, Nyimas Kubang Karancang adalah keturunan Prabu Siliwangi. Penggunaan kata Nyenang berarti Nyimas Kubang Karancang senang/bahagia terhadap kampung tersebut.

Konsep penamaan kampung Nyenang menurut masyarakatnya mengambil dari tradisi lisan. Yakni yang menggambarkan kondisi Nyimas Kubang Karancang yang sedang gundah menjadi senang tatkala berenang di Sungai Leuwipanjang dan memandang keindahan alam di kampung Nyenang.

Pelaksaan ritual Ngamandian Ucing telah ada sejak zaman dulu. Terdapat dokumen yang mencatat tentang hal ini, yaitu catatan yang mengungkapkan tentang masa revolusi perang kemerdekaan di bawah kepemimpinan lurah Jayadinata Desa Nyenang pada 1945-1947.

Pemerintah desa dan masyarakat Nyenang telah melestarikan dan memelihara tradisi ritual Ngamandian Ucing yang telah ada sebelum 1945. Hingga saat ini, Ngamandian Ucing masih dilakukan oleh masyarakat kampung Nyenang.

Keberadaan ritual Ngamadian Ucing ditunjukan dengan adanya penyebutan beberapa artefak ini dalam puisi tentang tempat pemandian Nyimas Kubang Karancang. Artefak dimaksud antara lain: situs budaya Muara Bojong; Batu Tumpang (sedang proses pendaftaran menjadi cagar budaya); Walungan Leuwipanjang; Keramat Nyimas Kubang Karancang (Pikiran Rakyat: 2019); serta Pancoran Cai.

Baca Juga:  Sejarah Monumen Perjuangan Jawa Barat

Menurut penjelasan Abah Tatang, ritual Ngamandian Ucing sudah turun-temurun dilakukan dari generasi ke generasi. Untuk menetapkan kapan dan tahun berapa dimulainya ritual ini, sampai saat ini tidak ditemukan catatan atau tulisan dari artefak budaya di kampung Nyenang. Namun, masyarakat tetap mengakui dan meyakini amanat leluhurnya.

Mengenai kucing yang digunakan sebagai media ritual Ngamandian Ucing, tidak lepas dari kebudayan Mesir kuno. Kucing dipercaya sebagai hewan yang diagungkan, hal ini terbukti dari banyaknya patung kucing di tempat-tempat bersejarah di Mesir (Liputan6: 2019).

Selain mitos kucing sebagai hewan yang mampu menghalau mahkluk halus yang jahat, bagi bangsa Mesir, kucing adalah hewan yang paling berjasa.

Di Indonesia, data sejarah menyebutkan bahwa kucing datang dan dibawa oleh para pelaut yang datang melakukan perdagangan dengan bangsa Indonesia sejak masa lalu. Hal ini menyebutkan kalau kucing bukan asli dari Indonesia, terlepas dari kapan adanya kucing di wilayah tatar Sunda, ada artefak budaya yang menyebutkan kata ucing yaitu pantun buhun Sunda yang berjudul Panggung Karaton.

Baca Juga:  Sasapian, Kesenian Asli Kabupaten Bandung Barat yang Sudah Ada Sebelum Indonesia Merdeka

Secara antropologis dan filsafat budaya memiliki konotasi makna yang mengungkap unsur-unsur simbol bahwa sisir serit tanduk ucing adalah simbol dunia bawah yang jamak, sedangkan sisir badag tanduk kuda adalah simbol dunia atas yang tunggal.

Makna tanduk mengungkapkan arti menunjuk. Dalam hal ini makna tanduk kucing menunjuk pada manusia yang kecil, sedangkan tanduk kuda menunjuk dunia langit yang sangat besar tempat bersemayamnya Sang Maha Pencipta.

Konsep filosofi dari simbol tanduk kucing yang mengasosiasikan sebagai dunia manusia, ada kemungkinan merupakan relevansi maksud dari amanat leluhur bahwa ngamandian ucing bukanlah tata cara memandikan kucing. Lebih dari itu, yakni lebih menjangkau makna yang lebih luas, yaitu prosesi berdoa berjamaah kepada yang bertahta di atas (tanduk kuda) Sang Maha Pencipta.

Baca Juga:  Jembatan Rajamandala yang Melegenda

Adapun Ritual Ngamandian Ucing terdiri atas tiga tahapan, yaitu persiapan, pelaksanaan, dan akhir pelaksanan.

Ritual Ngamandian Ucing mengandung makna komunikasi transendental (Khimatullah: 2018) yang berdimensi mistis, menunjukkan masyarakat kampung Nyenang masih menganut kepercayaan yang bersifat mistis terhadap adanya roh-roh leluhur yang selalu mendampingi segala aktivitas manusia yang masih hidup.

Berdasarkan analisis komunikasi transendental dalam dimensi ontologis, melalui ritual ini ditemukan adanya konsep-konsep budaya leluhur Sunda yang cenderung untuk bermain siloka (simbol) bila mengekspresikan aktivitas budayanya. Komunikasi transendental  ritual Ngamandian Ucing dalam dimensi mistis dan dimensi ontologis keduanya mengacu pada hubungan harmoni manusia dengan Sang Maha Pencipta.

Dari segi fungsi sosial, ritual ini masih memegang teguh nilai-nilai gotong-royong di masyarakat kampung Nyenang. Hal ini terlihat dari penyajian tumpeng yang disediakan untuk dinikmati bersama-sama oleh masyarakat yang menghadiri ritual. Selain itu, terdapat pula fungsi edukasi yang tercermin dari ritual ini yaitu pendidikan tentang menghormati jasa-jasa yang telah dilakukan oleh leluhur yang diwujudkan dengan menjalankan amanatnya.

Diolah dari Kemendikbud.go.id

PMB Uhamka