BANDUNGMU.COM – Meskipun semakin terkikis dan berubah menjadi perumahan elite, di Jawa Barat, khususnya di Kabupaten Bandung Barat, masih banyak pesawahan yang menghijau. Kalau padi sudah siap dipanen, biasanya padi yang tadinya hijau akan berubah kuning.
Di antara satu hama yang sering memakan padi menjelang padi dipanen ialah burung. Burung itu biasanya berjenis pipit (Sunda: Piit.) dan burung kecil sejenisnya (sebagian orang sunda menyebutnya burung bondol).
Untuk mengusir burung-burung hama tersebut, maka pesawahan yang menguning harus dijaga oleh sang pemilik. Masyarakat menyebutnya dengan istilah “tunggu”.
Nah tradisi menunggui sawah ini yang menarik untuk diketahui. Berikut Bandungmu.com sajikan artikel yang dikutip dari Pikiran-rakyat.com mengenai tradisi unik “tunggu”.
****
Tunggu, merupakan tradisi lawas warga menunggu sawah dan mengusir burung-burung pemangsa bulir padi masih lestari di Kampung Citangkil, Desa Margaluyu, Kecamatan Cipeundeuy, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat.
Dari pagi hingga sore, suasana pesawahan kampung di tepi Sungai Citarum ingar bingar oleh bunyi tetabuhan dan teriakan warga mengusir burung.
Kawanan burung menukik ke arah rumpun padi setelah bermanuver dengan kecepatan tinggi di udara. Bulir-bulir padi menguning sudah tampak di hadapan mereka. Namun, mimpi indah menyantap biji-biji padi musnah kala terdengar
Suara menggelegar dan riuh manusia diiringi suara kelontang-kelontang kaleng dan berbagai bunyi tabuhan lain.
“Skuadron” hewan itu berbalik arah, menghindar dan mengintai lagi guna mencari kelengahan para penunggu sawah itu.
Begitulah pemandangan sore hari di sawah-sawah warga Kampung Citangkil. Ibarat pentas seni, lahan pesawahan di perbatasan KBB dan Cianjur tersebut merupakan gigs atau pergelaran musik punk.
Kenapa punk?
Soalnya, riuh dan ingar bingar teriakan warga yang bersautan dengan tetabuhan tak beraturan, penuh distorsi memang mirip konser grup musik yang identik dengan gerakan anti-kemapanan itu.
Sejumlah warga turun ke sawah saat matahari belum naik tinggi dan pulang kembali menjelang azan Magrib berkumandang.
Adalah Ai Lasmana, 43 tahun, salah satu warga yang ikut tunggu sawah. saat “PR” menyambangi Citangkil, Sabtu, 5 Juni 2021. Berbekal payung dan kursi, Ai duduk anteng di pematang sawah. Tangannya memegang tali yang menjulur panjang ke arah sawah.
Dengan sekali sentakan, tali-tali tadi menggoyang berbagai benda yang menggantung di ujungnya sehingga mengeluarkan bunyi. Burung-burung, yang warga akrab menyebutnya, manuk piit, pun kabur.
“Banyak sekali (burung-burung di sini),” kata Ai menjelaskan kenapa warga ramai-ramai turun dan menjaga pesawahan Citangkil. Selain di tepi Citarum, kampung tersebut memang berbatasan dengan hutan jati dan perkebunan karet.
Barangkali hal itu menjadi alasan keberadaan burung-burung pemangsa bulir padi begitu banyak. Ai menuturkan, tradisi tunggu dilakukan warga setiap menjelang panen kedua saban tahun. Setiap tahun, musim tanam dan panen Citangkil hanya dua kali.
Dan musim kedua yang jatuh sekira Mei-Juni menjadi momen warga turun ke sawah untuk menjaganya dari serangan burung. Warga menyebut musim kedua tersebut dengan istilah, morekat.
Hal itu berbeda dengan musim pertama yang jatuh pada bulan-bulan di awal tahun. Musim perdana yang dikenal warga dengan nama, ngawuku itu malah nihil dari serangan burung.
Upaya warga memasang bebegig atau orang-orangan guna mengusir burung pun tak mempan di musim kedua. Mengagetkan burung-burung dengan tetabuhan beragam benda sebetulnya tak betul-betul ampuh. Hanya dengan upaya kombinasi, yakni memadukan tabuhan, memasang umbul-umbul serta teriakan yang mujarab bikin hewan-hewan pemangsa mengurungkan niat melahap biji padi.
Ai bahkan berseloroh, peringatan 17 Agustus atau hari kemerdekaan yang ramai bahkan kalah dengan tradisi tunggu. Pasalnya, pemasangan umbul-umbul serta bendera di hari kemerdekaan kalah banyak.
Sementara itu, Rohman, warga lain mengungkapkan, nasib nahas bakal dialami warga yang tak menjaga sawahnya atau lengah. “Lapur we seep (habis padi-padi yang akan panen),” ucap pria 62 tahun tersebut.
Hal serupa dilontarkan Ondi, 50 tahun. Warga dalam satu keluarga, tuturnya, kerap bergantian menjaga sawah. “Digilir (bergantian) kalau ada anak, kalau tidak ada, lanjut terus (oleh dirinya),” kata Ondi.
Tradisi tunggu yang masih lestari menunjukkan budaya agraris Tatar Pasundan tetap ada. Di tengah proyek-proyek pemerintah yang gandrung menggerus lahan pertanian, sawah-sawah Citangkil tetap terjaga, setia memasok pangan untuk warga. Sampai kapan? Pertanyaan itu mestinya ditujukkan kepada pemerintah yang senang mengundang investor untuk mengubah lahan pertanian menjadi proyek-proyek infrastruktur besar.