BANDUNGMU.COM – Kata Benjang, mungkin terdengar asing. Sebagian yang mendengar mungkin akan bertanya-tanya apa itu benjang? Ya, sedikit orang yang tahu tentang benjang.
Benjang ialah kesenian tradisional dari Sunda yang memadukan seni dan beladiri. Benjang tumbuh dan berkembang di Karesidenan Ujungberung, kawasan Bandung Timur, yang kini sudah dimekarkan menjadi sejumlah kecamatan.
Perkembangan Benjang
Ada yang menyebut, benjang berkembang sejak akhir abad ke-19. Benjang tak begitu saja terbentuk. Ada cerita panjang yang bergulir mengiringi beladiri yang lahir dari permainan ini.
Mulanya, sekelompok pemuda yang punya hobi beladiri membentuk perkumpulan berkedok seni melalui jalur agama. Kedok ini dibuat lantaran rezim kolonial tak menghendaki, pemuda inlander bebas berlatih beladiri. Rezim khawatir, inlander bisa menghimpun kekuatan dan memicu pemberontakan di Karesidenan Ujungberung.
Saat larangan diberlakukan, surau dan pesantren mulai menjamur di Priangan. Rudat, tarian yang tumbuh bersamaan dengan penyebaran Islam di Nusantara, menjadi wahana pemuda untuk memadukan kesenian dan beladiri.
Perpaduan Seni dan Beladiri
Perpaduan seni dan beladiri ini tumbuh dari pesantren dan menjadi sebuah permainan. Seperti dodogongan (permainan saling mendorong menggunakan kayu penumbuk padi), seredan (permainan saling mendesak tanpa alat hingga salah satu pemain keluar dari lapangan), dan mumundingan (gerakan saling mendorong menggunakan kepala).
Permainan tersebut terus berkembang dan banyak dimainkan anak laki-laki. Dari permainan ini, benjang lahir. Dalam perjalanannya, benjang mengalami banyak modifikasi. Benjang tak semata permainan dan beladiri. Ada unsur hiburan yang kemudian hadir dalam seni tradisional ini.
Musik Benjang
Pegiat benjang kemudian menambahkan musik pada pertunjukan benjang. Musik ini disebut Waditra, dan memainkan terebang (rebana), kendang (gendang), bedug, tarompet (terompet) dan kecrek. Musik ini menambah semarak benjang. Belakangan, ada bangbarongan (topeng benjang) yang juga menjadi penghibur.
Umumnya, masyarakat di Kecamatan Ujungberung mengenal iringan musik benjang ini sebagai benjang helaran, sebagai pembeda dari benjang gulat. Benjang helaran ini menggabungkan iringan musik waditra dan bangbarongan dan dihelat pagi hingga sore hari.
Benjang terus melenggang menjadi permainan, kesenian, sekaligus beladiri, yang digemari masyarakat di Karesidenan Ujungberung. Apalagi, ada nilai tradisi yang diusung benjang.
Sempat dilarang
Kepopuleran ini harus terhenti sejenak. Benjang yang saat lahir dilarang pemerintah kolonial, harus kembali dilarang saat zaman Orde Baru. Musababnya, benjang dianggap jadi sumber tawuran di Kecamatan Ujungberung pada 1970-an. Apalagi, tawuran sampai melibatkan warga dan anggota TNI.
Larangan ini membuat benjang gulat vakum tampil di depan publik Ujungberung. Hampir dua dekade lebih, benjang gulat absen dipertunjukkan di Alun-Alun Ujungberung. Hingga akhirnya, Orde Baru tumbang dan menyisakan harapan buat pegiat benjang.
Awal 2000, benjang gulat kembali bisa disaksikan di depan umum, tepatnya di Alun-Alun Ujungberung. Hanya saja, ada jejak larangan yang menyisa di benjang. Sebab kini, warga Ujungberung lebih mengenal benjang sebagai seni daripada beladiri.
Diolah dari Sumber: liputan6.com