UMBandung
Opini

Lulusan Perguruan Tinggi: Kreatif atau Cumlaude?

×

Lulusan Perguruan Tinggi: Kreatif atau Cumlaude?

Sebarkan artikel ini

Oleh: Ace Somantri, Dosen Universitas Muhammadiyah Bandung

BANDUNGMU.COM — Ribuan lembaga pendidikan tinggi, mulai dari akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut, dan universitas banyak tersebar.

Semua jenis pendidikan tinggi learning out come atau capaian pembelajaran rata-rata berorientasi pada pemenuhan standar nasional pendidikan tinggi.

Salah satu di antaranya terserapnya lulusan dalam dunia industri. Dengan syarat lulusan memiliki keterampilan bidang ilmunya.

Pertanyaan berikutnya apakah bukti memiliki keterampilan cukup dengan ijazah atau sertifikat lainnya? Sementara dunia industri berikat satu per satu sudah mulai berguguran gulung tikar. Industri lainnya yang sedang atau menengah rata-rata hanya butuh jumlah tenaga sedikit.

Itu pun mereka hanya mempekerjakan lulusan tingkat menegah kejuruan. Di sisi lain lulusan perguruan tinggi terus-menerus tanpa henti semkin banyak.

Ribuan program studi dengan varian tingkatan dari tingkat diploma, sarjana, magister, dan doktor. Apakah sudah benar-benar dianalisis mereka akan menjadi dan berbuat apa di masa depannya?

Kebanggaan orang tua pada umumnya ketika lulus predikat sang buah hati merebut nilai akhir cumlaude dan sumacumlaude karena so pasti karena kuantitas nilai terbaik.

Baca Juga:  Majelis Dikdasmen Konsolidasi Sekolah Muhammadiyah

Setelah ijazah dan transkrip nilai di terima, selanjutnya mencari pekerjaan melamar ke sana kemari, menunggu jadwal penerimaan CPNS yang difasilitasi negara.

Ketika tidak masuk sana sini, akhirnya studi lanjut pada jenjang berikutnya, pun sama ketika akhir studi dengan ijazah dan transkrip nilai kesana kemari melamar pekerjaan. Terus begitu hingga mendapat pekerjaan sekalipun tidak sesuai keilmuan apa boleh buat itu takdirnya.

Tidak masalah hal itu terjadi bagi lulusan cumlaude karena ada ruang cukup banyak ikut kompetisi merebut kursi dunia kerja. Namun, apakah semua lulusan cumlaude? Sangat yakin 80 persen lebih lulusan perguruan tinggi hanya memuaskan.

Dari total seluruh perguruan tinggi berapa puluh ribu setiap tahun sarjana lahir? Sementara berapa industri membuka lowongan kerja?

Faktanya dari waktu ke waktu industrialisasi kian hari semakin berkurang karena diganti mesin atau robot.

Jikalau hari ini semua penyelenggara pendidikan tinggi hanya titik tekannya ijazah dan transkrip nilai dan lulus tidak peduli setelah lulus mereka akan ke mana, sangat keterlaluan sekali, padahal mereka bayar kuliah tidak murah.

Tidak sedikit lulusan, ketika ditanya apakah memiliki keahlian apa, ternyata hampir semua mereka hanya bisa menyodorkan ijazah.

Baca Juga:  Reformulasi Visi Kepemimpinan PWM Jawa Barat

Padahal yang ditanya keahlian yang dimiliki bukan ijazah, akhirnya banyak lulusan sarjana menganggur, tidak sedikit magister melamar ke sana kemari, termasuk tingkat doktoral kadang ada yang melamar bukan dilamar.

Fenomena tersebut sudah terjadi beberpa tahun kebelakang, malahan juga terjadi lulusan luar negeri pun tidak sedikit menganggur, melamar malu juga dan akhirnya membuka usaha.

Karena tidak memiliki skill dan mental usaha, ketika diberi tantangan tidak kuat dan bangkrut langsung terkapar sehingga putus asa karena modal amblas, untuk lanjut usaha modal sulit dicari, solusi pinjam ke bank dengan bunga terlalu besar ada kekhawatiran tidak terbayar.

Dipastikan, saat ini dan ke depan bagi penyelenggara pendidikan segera me-review kurikulum untuk memperkuat skill dan mental usaha, dengan cara dan metode yang menarik dan efektif.

Alasan tersebut berdasar pada keterangan bahwa dari 10 pintu rezeki, 9 terbuka untuk dunia usaha dan hanya 1 untuk dunia profesi.

Artinya, para praktisi pendidikan harus membentuk karakater generasi pembelajar untuk lebih pada penguatan skill dan mental usaha. Tidak ada alasan bagi penggerak pendidikan harus berani membuat formula tepat, learning out come menuju pada peningkatan skill dan mental usaha.

Baca Juga:  Al-Quran dan Spiritualitas Bulan Ramadhan

Proses penyadaran kepada orangtua, hal ihwal pilihan lembaga pendidikan tidak hanya akreditasi semata dan keterjaminan lulusan bukan lagi pada nilai cumlaude, melainkan skill dan mental petarung dengan otot besi tulang baja sebagai problem solver.

Saling memahami dan mengerti antara pembelajar, orangtua, dan penyelnggara pendidikan bersepakat membuat formula tepat mempersiapkan proses pendidikan lebih adaptif dengan capaian pembelajaran standar kelulusan tidak pada kuantitas nilai melainkan pada kualitas skill dan mental.

Pemberian penghargaan kepada lulusan bukan hanya cumlaude tapi karya cipta, juara skill bisnis, serta kreatifitas base on mentality lainnya.

Untuk mencapai standar lulusan tersebut, isi kurikulum memperkuat skill dan mental usaha, proses pembelajaran di arahakan pada belajar by project.

Para pengajar atau dosen di traning soft skill untuk menjadi fasilitator yang baik dan benar. Sehingga peran dan fungsinya tidak hanya mengajar saja, melainkan juga menjadi pendamping para pembelajar. Wallahu’alam.***

Seedbacklink