BANDUNGMU.COM, Bandung – Praktik sunat perempuan terus menjadi kontroversi yang memicu perdebatan di berbagai kalangan, termasuk di antara ulama. Melalui Majelis Tarjih dan Tajdid, Muhammadiyah dengan tegas menyatakan bahwa sunat perempuan bukan bagian dari ajaran Islam, melainkan tradisi yang tidak memiliki dasar agama yang kuat.
Majelis Tarjih menekankan bahwa, berbeda dengan sunat laki-laki yang memiliki dasar hukum jelas dalam ajaran agama, tidak ada dalil eksplisit yang menyebutkan atau menganjurkan sunat perempuan. Berdasarkan analisis manfaat dan mudarat, fatwa dikeluarkan untuk melarang praktik tersebut. Muhammadiyah berkomitmen untuk menjaga integritas ajaran Islam dan melindungi perempuan dari praktik yang dinilai tidak sesuai dengan nash.
Perspektif Kesehatan Reproduksi
Pakar kesehatan reproduksi dan kader Aisyiyah Jawa Barat, Dian Indahwati, menjelaskan perbedaan mendasar antara sunat laki-laki dan perempuan dalam Gerakan Subuh Mengaji (GSM). Sunat laki-laki, atau sirkumsisi, melibatkan pengangkatan preputium untuk menjaga kebersihan organ genital serta memiliki manfaat medis yang diakui, seperti mencegah infeksi dan penyakit menular seksual.
Berbeda dengan itu, sunat perempuan atau pemotongan genital perempuan (P2GP) tidak memiliki manfaat kesehatan yang jelas. Menurut Dian, tindakan tersebut tidak diperlukan karena anatomi perempuan berbeda, dan klitoris tidak berperan dalam sistem kemih sehingga kebersihan tetap terjaga tanpa prosedur ini.
Bahaya Sunat Perempuan
Dian menjelaskan bahwa P2GP membawa berbagai risiko kesehatan, baik langsung maupun jangka panjang. Dampak fisik langsung termasuk perdarahan hebat, infeksi, dan kesulitan berkemih akibat kerusakan jaringan sensitif pada organ genital perempuan. Dalam jangka panjang, praktik ini dapat menyebabkan penurunan kepuasan seksual, pembentukan jaringan parut, hingga rasa nyeri saat berhubungan intim.
Lebih dari itu, dampak psikologis dari sunat perempuan sering kali diabaikan. Dian menyoroti bahwa pengalaman traumatis yang dialami perempuan selama prosedur, terutama karena tidak adanya anestesi, dapat berdampak buruk pada kesehatan mental mereka. Trauma ini bahkan berpotensi menciptakan beban psikologis yang berkepanjangan.
Pentingnya Pemahaman Komprehensif
Dian Indahwati menekankan pentingnya pemahaman yang menyeluruh terhadap isu ini. Kesadaran mengenai dampak negatif sunat perempuan diharapkan dapat membuka jalan bagi pembentukan kebijakan yang lebih melindungi hak kesehatan reproduksi perempuan.
Paparan ini memberikan landasan kuat bagi masyarakat untuk menilai praktik sunat perempuan tidak hanya dari sisi agama, tetapi juga dari perspektif kesehatan dan hak asasi. Sikap Muhammadiyah dan penjelasan dari para ahli seperti Dian diharapkan mampu memberikan kesadaran luas dan mendukung perlindungan perempuan dari praktik yang membahayakan.***